Selasa, 09 Juni 2015

Sebutir Alpentin #Day10

Lembar kesepuluh di bulan Juni. Tulisanku akan berkisah tentang bahagia, tentang aku dan mimpi-mimpi indahku. Mimpi yang baru saja aku tanam. Kubiarkan kuncupnya mekar, kelak ia pasti rimbun di hidupku dan kupanen wanginya dalam nyata.

Semalam, ada hal baru yang tercatat dalam sejarah hidupku. Untuk pertama kalinya aku berani minum obat nyeri. Pada pertemuanku dengan dokter Zaky, aku pernah akan dibuatkan resep, selalu saja aku tidak mau. Bukan apa-apa, aku takut ketergantungan. Saat melihat kondisiku, dokter Zaky berpesan kalau obat bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk mengurangi sakit yang ada, dan kulihat dokter Faris di samping dokter Zaky meresepkan obat.

Di rumah sakit saat itu, aku diminta untuk foto torax sebagai persiapan operasi. Kalau di rumah sakit sebelumnya, kala menunggu saat-saat operasi pasien dipondokkan dulu selama berhari-hari, benar-benar seperti orang sakit. Termasuk aku, dua tahun lalu aku sempat mondok sepuluh hari di rumah sakit untuk persiapan, meskipun akhirnya tidak jadi operasi hehee.
Usai foto kami menunggu hasil dengan memesan makanan di cafe rumah sakit. Saat pertama kali berkenalan dengan rumah sakit ini, ada yang menggelitik di hatiku. Kutemukan sebuah rumah sakit yang justru mirip mall. Ruang-ruangnya cantik, ruang tunggunya berderet seperti toko-toko di mall, ruangan tunggu pasien yang bersih dan ber AC dan satu lagi free wifi. Di tempat periksa anak-anak, penuh dengan lukisan lucu dan alat permainan out door, yang ini mirip taman kanak-kanak. Hal yang menggelitik lagi, di rumah sakit ini ada mini market dan sebuah cafe dengan tatanan apik. Suka! Semoga tak salah pilih, kataku saat itu.
Pindah dokter dan pindah rumah sakit? Hal yang awalnya konyol di kepalaku. Dulu sebelum memutuskan ini, sempat terjadi perang di hatiku. Saat bbm mantan walimuridku yang cantik itu; bunda Richo menyapa, menanyakan perihal HNPku, karena sibuk yang menggunung baru besoknya kubalas sapaan itu. Saat yang sama aku asyik dengan makanan kolang-kaling yang katanya bisa mengobati nyeri hernia nucleus pulposusku. Beliau bercerita bahwa suaminya mengalami sakit yang sama sepertiku. Aku kaget, ah sok gaya kuberi resep tentang makanan yang perlu dikonsumsi penderita HNP. Bunda Richo malah memberitahu kalau suaminya sudah dioperasi. Saat itu juga darahku berdesir hebat. Duh, bertemu dengan kata operasi lagi. Tidak! Aku tak ingin lagi berurusan dengan medis. Cukup sudah upayaku untuk penyakit ini. Lima tahun sudah, segala cara sudah aku lakukan. Dari mengkonsumsi sari mengkudu yang dibelikan papa dengan harga yang lumayan, terapi listrik dengan magnet-magnet, batu giok , terapi sari kacang hijau, pijat refleksi, tusuk jarum akupuntur, pijat totok, terapi yumeho, injeksi vitamin B, terakhir ini kolang-kaling. Terus apalagi ya, banyak. Segala cara aku tempuh, belum kutemukan hasil pasti karena aku tidak telaten. Aku mudah bosan dengan sesuatu yang monoton.
Bunda Richo memberi penjelasan dalam bbmnya itu seperti dokter bedah saraf, membuka kekakuanku. Kata-kata beliau begitu mengena di hatiku. Aku dibutuhkan orang banyak, aku harus sembuh, karena itu perlu meluangkan sedikit waktu untuk mendapatkan sembuh yang banyak. Aku masih juga kaku, aku tak mau dioperasi. Tapi kata bunda Richo; periksakan saja dulu ustazah, semakin cepat memutuskan semakin baik. Kalau ustazah parah, siapa yang mengurusi sekolah? Kata-kata itu bak motivator Mario Teguh, membuatku luluh dan bismillah, aku berjanji pada diriku bahwa aku pasti sembuh, jalan sembuh sudah Allah tunjukkan lewat mutiara yang keluar dari tulisan-tulisan chat bunda Richo kepadaku. Terima kasih ya Allah, terima kasih bunda Richo yang mampu menguraikan pikiran bundelku yang kaku.

Tapi eh, aku manusia kaku. Haha, iyakah? Untuk urusan memutuskan hal yang berkenaan dengan kesehatanku perlu perang batin yang panjang, seperti semalam; untuk menelan sebutir Alpentin di tanganku aku pun perlu berpikir berjuta kali, antara diminum atau tidak. Sementara berjalanku sudah semakin tak seimbang, menahan nyeri. Obat kecil itu susah didapat, beberapa apotek tidak ada. Ternyata papa mendapatkannya justru di apotek dekat tempat tinggal kami yang pinggiran kota. Minum?, tidak?, ah masa untuk urusan minum obat perlu diistikhoroi dulu haha.
Akhirnya, kubuka lebar pintu itu; "Alpentin, selamat datang di hidupku"

Pagi indah di homestayku, 10 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day10

Bersambung..

1 komentar:

  1. salam sejahtera duhai putyaisy
    semoga segala kesakitanmu terbang jauh
    dibawa sembayu jauh didasar lautan tertanam
    moga moga sihat wal afiah buatmu selama lamanya
    Amiin Allahumma Aamiin....
    Pena Satria....

    BalasHapus