Minggu, 18 Mei 2014

~ Puisi Ketiga ~


Teruntuk kau yang mengikrarkan jiwa raga terpaut sukma. 
Salam hormatku kakanda.
Barangkali cinta telah tertali mati,
untukmu saja

Teruntuk kau yang tercatat di Lauhul Mahfuz
sebagai penyempurna hidupku.
Peluk hangat pada tiap kerling harap terpatri;
kucintaimu

Kapal kita adalah titisan semesta,
kau nakhoda-aku penumpangnya
Labuhkan dengan cinta sampai surga,
sebab di sanalah dermaga kita

Teruntuk kau pemimpin duniaku,
setia adalah jembatan antara aku dan Tuhanku,
sudilah kita menggenggamnya sampai tutup usia

Surabaya, 17 Mei 2014
~ Aisyah Abdillah Putri ~

Rabu, 14 Mei 2014

Teruntuk Puan yang dari Rahimnya Aku Menjelma

Teruntuk Puan yang dari Rahimnya Aku Menjelma


Hari ini tentang Pahlawanku, 
seorang puan dengan segenap cinta mengaliri angkasaku, 
sabitnya mekar kembang; indah tak sudahsudah

Genggam harap menabur untukku, 
langitan doa tak henti berlabuh mengaliri cawanku.
Cinta tanpa syarat,
sedang aku masih saja angkuh

Teruntuk puan yang dari rahimnya yang rahim itu aku menetas.
Kutitipkan kasih pada jemari bahagia,
sebab di sanalah puan singgah..
 
Merujuk luas kesabaran yang terlukis dari tatapmu puan,
tak cukup pamrih terjemahkan terima kasih.
Lalu dengan apa kubalas segalamu?

Duhai Pahlawan ayu,
 izinkan banggaku melangit
saat memulang kenang; tentang masa kanakku,
 ada jemari lembut dan tutur halus bersamaku

Puan cintaku,
 jika ada cantik pada lakuku ialah hasil pahatanmu.
Jika ada suram catatku itu karena celaku.
Kecup senjamu cintaku

Teruntuk kau yang menjelma embun,
 menyenandungkan doadoa bagiku;
 kelak akan kuselendangkan mahkota surga.
Untukmu Bunda cintaku

Bumi Syuhada, 15 Maret 2014
~ Aisyah Abdillah Putri ~

~ Fikri Tidak Bisa Mencangkul ~

Kaget..!!, Melihat air mata berderai di kedua pipi mungil Fikri, salah satu murid di Taman Kanak-kanak kelompok A.

Satu kalimat baru saja saya sampaikan ke dia.. "Silakan sayang.. Sama Ustadzah kah..?" Ketika dia berpamitan mau ke belakang untuk pipis..
Dia menggeleng.. "Itu Mamaku ustadzah.." Sambil menunjuk seorang Ibu cantik melempar senyum, berdiri tepat di belakang pintu. "Minta pipis dengan saya ust" Kata Mama Fikri.

Selesai dari kamar mandi, Fikri sesenggukan, air matanya berderai. Dag dig dug..!! "Ada apa dengan Fikri bu..??"
"Saya tidak boleh pulang ustadzah, kata Fikri hari ini mau diajak menanam Jagung sama ustadzah" jawab Mamanya.
"Iya bener..!! Iya kan sayang.."kata saya sambil mengusap air matanya..
"Huaaaaa.....!!! "tangisnya semakin kencang.
"Lhoh..??" Saya semakin kaget,
"Iya ust.." kata Fikri dia tidak bisa mencangkul" mamanya menjelaskan sambil mengurai senyum..

Hihihi... Refleks saya dekap erat tubuh Fikri.
"Sayang.. Hari ini kita memang mau menanam jagung, tapi di atas kapas yang diletakkan di gelas itu (sambil kutunjuk gelas plastik..) Jadi tidak pakai mencangkul.." jelas saya sambil sesekali mengusap air matanya, di samping saya sang mama sudah terpingkal-pingkal tak kuat menahan tawa.. :D

Kejadian itu benar-benar menjadi cambuk bagi saya sebagai guru di kelas itu. Rupanya Fikri begitu kreatifnya menerjemahkan lagu "Menanam Jagung" yang saya pakai sebagai lagu pembuka pagi itu.
Mari kita menyanyi bersama:
"Ayo kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita
Ambil cangkulmu, ambil pangkurmu, kita bekerja tak jemu-jemu
Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung di kebun kita"

Begitulah anak-anak, imajinasi mereka seperti tak berbatas. Melambung melebihi apa yang orang dewasa pikirkan. Pelajaran terindah hari itu adalah: ANAK-ANAK adalah PENERJEMAH handal, maka berhati-hati dalam memilih bahasa verbal yang disampaikan kepada mereka adalah langkah yang bijak. Fikri yang sensitif terbukti berbeda menerjemahkan kalimat "mencangkul" yang saya sampaikan saat itu, meskipun anak-anak yang lain begitu enjoy mengikuti kegiatan tersebut. 
Subhanallah..
 
 Surabaya, 2011

~ Berguru dari Pengalaman ~

"Kesalahan" itu manusiawi, banyak pelajaran yang terpetik dari sebuah "Kesalahan"
Itulah mengapa di TK kami, saya tidak mengizinkan anak-anak memakai penghapus untuk menghapus tulisan yang mereka anggap salah.
Jadi tulisan yang salah cukup dicoret dan silakan menulis di bawahnya.. :)
anak-anak yang sering salah akan melihat kertas mereka "tidak rapi", bahkan diawal mereka akan menangis menganggap dirinya tidak bisa melakukan yang terbaik.
Hehhe... Manusiawi sekali, karena setiap manusia memiliki gharizah baqo' :)
Anak-anak menangis karena merasa takut menghadapi "kesalahan"
Disanalah tugas kita untuk meluruskan, bahwa salah itu wajar, dan jika tak ingin salah.. Maka lakukan dengan "hati-hati" dan teliti.. :)

Maka saya sangat anti dengan "penghapus". Bagi saya penghapus hanya akan mengajari anak2 didik saya untuk melenyapkan sebuah kesalahan. Padahal dari kesalahan itulah kita bisa belajar untuk jadi yang lebih baik.
Pelajaran itu saya dapat saat belajar mata kuliah psikiatri dengan seorang dokter yang menjadi dosen saya di psikologi dulu. Kami belajar untuk memusnahkan stipo (pada saat menulis, terlebih ujian), sehingga setiap tulisan yang kami hasilkan benar-benar dipikirkan dan hati-hati dalam menggoreskannya... :)
Ini hikmah yang sangat cerdas..!!

Fakta di lapangan sebagai seorang yang sedang belajar tentang hidup dan bagaimana cara menghargai sisa hidup, berhati-hati dalam bertutur, bertindak & bergaul sangatlah penting.
Menjadi pribadi yang "gentle" dengan mengakui sebuah kesalahan adalah sikap cerdas saat belajar tentang. "Berguru dari Kesalahan"
Banyak ladang pahala bagi orang lain saat kita "salah", bahkan tidak layak kita membenci mereka yang menunjukkan kekurangan kita.. :)
Mengutip perkataan Khalifah Umar bin Khatab : "Orang yg paling aku cintai adalah yg mau menunjukkan kesalahanku"
So..!!

Kota Pahlawanku...
2013

~ Puisi Pertama ~ #30hp

Kepada Kekasih di atas segala kekasih...

Kepada Penggenggam napasku
kerdil ini di antara murahnya rahmahMu. 
Pantaskah mengharap cintaMu 
saat deras perselingkuhan ini dariMu?

Kepada Kekasih tempat pulangku, 
rindu terus menabur memulang pada kampungku;
 tempat di mana ruhku bersumpah tiada Tuhan selainMu 

Kepada Sorot penuh cinta dengan jemari beruasruas kasih, 
pada pertemuan kita nanti, 
tak sanggup aku berdiri tanpa payungMu Kekasih

Sebab binarMu jeli. 
PenghisabanMu pasti. 
Malu aku pada laku dan celoteh jalang ini. 
Luas inginku agar kerat dosa ini Kau ampuni..

Kepada Kau dengan segenap cinta.
 Rindu memenggal jarak. 
Sebab ruh; adalah Kau di setiap segalaku. 
KepadaMu Allahku..:) 

~ Bumi Syuhada, 14 Mei 2014 ~

Minggu, 11 Mei 2014

Apa Kabar Jelitaku..??

"Apa kabar Jelitaku?".
 Sabit ini menetas karena sapamu.
 Andai jelita adalah tiket yang bisa ditukar saat hari penghisaban..

"Apa kabar Jelitaku?".
 Memerahlah ronaku sayang,
 rindumu mematikan sebagian akalku.
Andai kelak rasa itu tak dimintai pertanggung jawaban..

"Apa kabar Jelitaku?".
 Kueratkan genggammu lelakiku, sapamu surga.
 Cinta kita akan sampai kesana
 jika ada Dia sebagai Raja di hati kita..

"Apa kabar Jelitaku?".
 Sapamu membangunkan sarafku.
Surga itu dekat.
Kelak saat kakiku menginjaknya,
kuingin kau ada di sampingku..

"Apa kabar Jelitaku?".
Kau tanyakan itu lagi sayang, kabarku baik.
Aku masih menjaga anakanak rindumu dalam rahimku.
Mereka segera menetas..

Aah, usah kau tanyakan lagi kabarku sayang,
membincanglah tentang telaga kautsar.
Cumbulah manjaku, kau tak lagi butuh bidadari selainku..

 .. dan bisikkan pada telingaku, sekali lagi;
bahwa sayap tangguhmu itu hanya cukup untuk memelukku,
satu bidadari selamanya..

"Apa kabarmu Jelitaku?"
sapamu embun lelakiku, Puisiku, Bintang Algiediku
Wangi melati menghiasi kabarku sayang
itu semua karenamu,,,

Surabaya, 16 Maret 2014
kumpulan puisi di twitterku...

Jumat, 09 Mei 2014

~ Pelangi di Langit Malam ~


Aku berdiri dalam bayangan yang terkapar lelah, kutatap beningku di atas kolam-kolam taman. Aura itu beberapa waktu lalu terasa bening, tapi tidak hari ini. Begitulah, mungkin sejak tiga purnama menghinggapiku. Sejak aku tak bisa tertidur tanpa sinar-sinar lembut itu, sejak kurebut sepenggal kisah yang menelanjangi masa depanku, sejak idealisme itu terbang, tersangkut di pucuk-pucuk daun teh di kebun itu

Aku adalah awan yang telah kebal, yang tak mungkin menitikkan hujan lagi walau setetes, aku berarak dalam bayangan masa depan yang pernah kulukis dengan tanganku, berlipat-lipat khayal kuterjemahkan sendiri. Aku bukan laki-laki yang tak memiliki hasrat. Aku teramat normal. Tapi waktu menindasku tanpa ampun, ia membiarkanku berlama-lama dingin dan mesra dalam dekapan aktivitasku yang terus mengalir dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu. Aktivitas dakwah, kerja, berputar silih berganti, seolah menyembunyikan bintang yang ingin kupinang. Namun inilah aku, bingkai masa depan yang pernah kupajang dalam kamarku masih utuh. Ia menari mengejekku di antara gelakku dengan malam. Bukannya aku enggan menyapa bintang. Bukan! bukannya aku enggan meraihnya untuk kubawa pulang. Tapi sekujur ketakutan merayap. Satu bintang yang berpijar itu mesti bisa memberikan sinar indah pada malamku, itu yang terus tercatat dalam daun usang yang kini tak bertuan.

Pernah, satu bintang terkapar di atas kepalaku, berpijar indah. Namun pelan sinarnya berpulang tanpa aku bisa mengejarnya. Ah, cukup! bintang-bintang kecil yang datang dan pergi tak bisa kuraih dan aku memang tak ingin meraihnya. Lalu hari-hariku kembali tersungkur, dalam tangis malamku di sepertiga malam, dalam ayat-ayat cintaNya yang senantiasa menawanku. Dalam gerak dakwah yang manis, dalam pengabdianku pada aset-aset negeri ini, kunikmati indahnya menjadi aku.

Sampai suatu waktu, aku menemukan sinar lembut itu. Serpihan goresan jiwanya memesonaku, akupun menyapanya. Tapi ia terhenti dalam diam yang tak bertuan. Aku menjadi awan yang mudah mendung, meneteskan air mata, ia teramat lembut untukku bintang yang berpijar indah itu terlupakan sejenak. Ia bukan sekedar bintang, namun pelangi. Ya pelangi yang kutemukan ketika terjadi pembiasan di jagad ini, ketika kuteteskan hujanku, ketika mentari menyeruak membisikkan keindahannya padaku. Dia lahir dengan indahnya. Satu rasa terbangun. Aku menyayangi pelangi itu, berharap ia mau bersanding menemaniku sampai rambutku beruban nanti, berharap dari rahimnya terlahir benih-benihku, kutawarkan kata sepakat agar tak berlama-lama memendam rasa. Dengan santun aku mengibah, dengan indahnya pula ia lepas resah. Kulihat sebentuk mendung diwajahnya.
“Hai, aku adalah awan yang akan berarak dalam angakasamu duhai pelangiku”, kataku padanya.
Pelangiku meneteskan lara yang melahirkan Tanya. Aku berlari, ingin aku meraihnya namun mendung pula bergelayut dalam mataku. Aku telah buta. Aku menyayanginya, menyayanginya, menyayanginya, dan kuulangi lagi: aku ingin memilikinya.

Pelangiku mengulurkan tangannya, aku ingin meraihnya. Tapi tidak, lagi-lagi kami harus memulangkan rasa ini, pelangiku menata warna-warninya dengan kanvas-kanvas yang telah ada pemiliknya. Jelas, aku telah kalah. Tak mungkin aku bisa meraihnya. Lagi-lagi aku terhenti dengan sebaris harapan, biar kutulis dengan pena yang tak lagi bisa tersenyum dalam pengharapanku; aku ingin melangkah. Namun mendung di pelangiku terus bergelayut,  tatapannya sembab. Ia mengharapkanku meraihnya. Aaah! aku ingin berteriak. Aku bisa apa? aku menyayangimu, menyayangimu, menyayangimu terus  kuulang kata itu.

Aku, tetaplah awan yang berarak dalam tiga purnama pelangiku  membiusku. Aku terjangkit amnesia pada idealisme yang pernah rapi kukantongi. Sejak di langit malam itu pernah terpampang lukisan mesra yang tersangkut dipucuk-pucuk daun teh di kebun itu, lukisan dengan sinar-sinar lembut yang terus menyapa. Duhai, entah kapan memulangkan rindu ini padanya. Kukembalikan segala urusanku padaMu Wahai kekasih, Engkaulah  yang pernah menuliskan ada tidaknya nama kami di langitMu.

Surabaya, 7 Oktober 2010