Aku
berdiri dalam bayangan yang terkapar lelah, kutatap beningku di atas
kolam-kolam taman. Aura itu beberapa waktu lalu terasa bening, tapi tidak hari
ini. Begitulah, mungkin sejak tiga purnama menghinggapiku. Sejak aku tak bisa
tertidur tanpa sinar-sinar lembut itu, sejak kurebut sepenggal kisah yang
menelanjangi masa depanku, sejak idealisme itu terbang, tersangkut di pucuk-pucuk
daun teh di kebun itu
Aku
adalah awan yang telah kebal, yang tak mungkin menitikkan hujan lagi walau
setetes, aku berarak dalam bayangan masa depan yang pernah kulukis dengan
tanganku, berlipat-lipat khayal kuterjemahkan sendiri. Aku bukan laki-laki yang
tak memiliki hasrat. Aku teramat normal. Tapi waktu menindasku tanpa ampun, ia
membiarkanku berlama-lama dingin dan mesra dalam dekapan aktivitasku yang terus
mengalir dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu. Aktivitas dakwah,
kerja, berputar silih berganti, seolah menyembunyikan bintang yang ingin kupinang.
Namun inilah aku, bingkai masa depan yang pernah kupajang dalam kamarku masih
utuh. Ia menari mengejekku di antara gelakku dengan malam. Bukannya aku enggan
menyapa bintang. Bukan! bukannya aku enggan meraihnya untuk kubawa pulang. Tapi
sekujur ketakutan merayap. Satu bintang yang berpijar itu mesti bisa memberikan
sinar indah pada malamku, itu yang terus tercatat dalam daun usang yang kini
tak bertuan.
Pernah,
satu bintang terkapar di atas kepalaku, berpijar indah. Namun pelan sinarnya
berpulang tanpa aku bisa mengejarnya. Ah, cukup! bintang-bintang kecil yang
datang dan pergi tak bisa kuraih dan aku memang tak ingin meraihnya. Lalu
hari-hariku kembali tersungkur, dalam tangis malamku di sepertiga malam, dalam
ayat-ayat cintaNya yang senantiasa menawanku. Dalam gerak dakwah yang manis,
dalam pengabdianku pada aset-aset negeri ini, kunikmati indahnya menjadi aku.
Sampai
suatu waktu, aku menemukan sinar lembut itu. Serpihan goresan jiwanya
memesonaku, akupun menyapanya. Tapi ia terhenti dalam diam yang tak bertuan. Aku
menjadi awan yang mudah mendung, meneteskan air mata, ia teramat lembut untukku
bintang yang berpijar indah itu terlupakan sejenak. Ia bukan sekedar bintang,
namun pelangi. Ya pelangi yang kutemukan ketika terjadi pembiasan di jagad ini,
ketika kuteteskan hujanku, ketika mentari menyeruak membisikkan keindahannya
padaku. Dia lahir dengan indahnya. Satu rasa terbangun. Aku menyayangi pelangi
itu, berharap ia mau bersanding menemaniku sampai rambutku beruban nanti,
berharap dari rahimnya terlahir benih-benihku, kutawarkan kata sepakat agar tak
berlama-lama memendam rasa. Dengan santun aku mengibah, dengan indahnya pula ia
lepas resah. Kulihat sebentuk mendung diwajahnya.
“Hai, aku adalah
awan yang akan berarak dalam angakasamu duhai pelangiku”, kataku padanya.
Pelangiku
meneteskan lara yang melahirkan Tanya. Aku berlari, ingin aku meraihnya namun
mendung pula bergelayut dalam mataku. Aku telah buta. Aku menyayanginya,
menyayanginya, menyayanginya, dan kuulangi lagi: aku ingin memilikinya.
Pelangiku
mengulurkan tangannya, aku ingin meraihnya. Tapi tidak, lagi-lagi kami harus
memulangkan rasa ini, pelangiku menata warna-warninya dengan kanvas-kanvas yang
telah ada pemiliknya. Jelas, aku telah kalah. Tak mungkin aku bisa meraihnya. Lagi-lagi
aku terhenti dengan sebaris harapan, biar kutulis dengan pena yang tak lagi
bisa tersenyum dalam pengharapanku; aku ingin melangkah. Namun mendung di
pelangiku terus bergelayut, tatapannya
sembab. Ia mengharapkanku meraihnya. Aaah! aku ingin berteriak. Aku bisa apa?
aku menyayangimu, menyayangimu, menyayangimu terus kuulang kata itu.
Aku,
tetaplah awan yang berarak dalam tiga purnama pelangiku membiusku. Aku
terjangkit amnesia pada idealisme yang pernah rapi kukantongi. Sejak di langit
malam itu pernah terpampang lukisan mesra yang tersangkut dipucuk-pucuk daun
teh di kebun itu, lukisan dengan sinar-sinar lembut yang terus menyapa. Duhai, entah
kapan memulangkan rindu ini padanya. Kukembalikan segala urusanku padaMu Wahai
kekasih, Engkaulah yang pernah menuliskan ada tidaknya nama kami di
langitMu.
Surabaya, 7
Oktober 2010