Selasa, 30 Juni 2015

Usai Sudah #Day30 (tamat)

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat, seluruh pasien di ruang tunggu merasa galau, karena sudah sejak pagi menunggu tapi dokter belum juga muncul di tempat praktiknya. Berulang kali perawat meminta maaf karena dokter yang kami tunggu-tunggu itu sedang proses operasi di lantai atas di rumah sakit ini.

Seorang perempuan tua yang duduk di kursi roda menangis tersedu, pasien pasca operasi saraf kaki itu tak kuat menahan nyeri. Di sebelahku pasien pasca operasi saraf mata yang dibalut perban bagian atas telinganya, ia tampak membisu di antara dua pengantar yang bercakap-cakap denganku. Tepat duduk di sebelah kiriku perawat pribadiku yang sudah mulai boring. Berkali-kali dikeluarkannya tab dari dalam tasnya, kemudian sebentar-sebentar menyodorkan susu dan makanan lainnya padaku. Dalam situasi seperti itu aku tolak, aku malu saat Ramadhan harus melahap makanan di tempat umum. Di depanku mondar-mandir pasien yang sekasus denganku, pasien pasca operasi saraf tulang belakang. Semua pasien dan para pengantar tampak resah, tak biasanya jadwal dokter Zaky molor demikian lamanya.

Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul setengah satu siang. Sekarang giliran lukaku yang resah. Aku paham kalau seperti itu tandanya dia sedang rindu sebutir analsik. Kacau! Aku belum makan siang, mana mungkin berani memasukkan obat itu ke tubuhku. Akhirnya kucari tempat persembunyian untuk bisa melahap sepotong roti dan sekotak susu, di lorong rawat inap ruang bersalin. Haha.. ini sangat lucu, orang pasti akan mengira aku akan melahirkan atau apalah, ah biar saja, semoga menjadi doa.

Pukul satu siang, tampaknya dokter sudah datang. Namaku dipanggil seorang perawat di urutan nomor empat. Dokter spesialis bedah sarafku itu menanyakan perkembanganku. Perban yang menutupi luka bekas operasiku dibuka perlahan. Lagi-lagi kurasakan ketakutan luar biasa. Pinggiran lukaku ditepuk-tepuk, sedikit geli tapi memang sudah tidak sesakit saat awal operasi. Kata dokter Zaky luka luar sudah kering, maka tidak perlu diperban lagi dan mulai besok sudah boleh mandi. Ada lagi yang disampaikan kepadaku, nanti aku sudah bisa berlebaran tanpa sakit, aku dinyatakan sembuh dan tak perlu kontrol lagi dalam waktu dekat, kecuali jika ada keluhan. Aku boleh kembali satu bulan lagi untuk dievaluasi. Hal yang belum boleh aku lakukan adalah; membungkuk, menggendong dan mengangkat beban. Kata dokter, luka luarku sudah sembuh. Hah? Aku sembuh? Ingin melompat tinggi atau sujud syukur, tapi sayangnya dua aktivitas itu tak bisa kulakukan mengingat ketakutanku jika nyeri itu muncul.

Pulang dari rumah sakit dalam keadaan luka tanpa dibalut perban. Di dalam mobil aku letakkan bantalan kursi tepat di belakangku. Luka ini terasa nyeri. Subhanallah dokterku yang menyuplai kami dengan sugesti itu benar-benar menggemaskan, masa sih masih terasa sakit begini dibilang sembuh?, nyeri ini masih kerasan. Dan barangkali masih butuh waktu sebulan lagi untuk mengeringkan luka dalam. Melihat aku masih merasakan nyeri, papa tidak tega membiarkan luka bekas operasiku terbuka, akhirnya ditutup lagi dengan perban, dan aku masih belum boleh mandi.

Hari ini, akhir Juni yang manis. Pagi-pagi aku sudah mulai menyeka badanku secara mandiri. Pagi yang segar, sambil menunggu diantar papa menuju tempat kerjaku, kembali kuputar puisi bulan Juni.

Juni ini sangatlah istimewa. Untuk mendedikasikan indahnya bulan Juni, kusempatkan pagi ini untuk merecord musikalisasi puisi hujan bulan Juni, yang rencananya akan aku unggah di soundcloud. Tapi soundcloudku saat ini sedang error, mungkin aku akan mengunggahnya di youtube, kalau tidak sempat cukup di facebook. Halah, mungkin lebay ya. Hihii.

Hari ini di tempat kerjaku, kutemukan cinta yang lama kurindukan. Anak didik kami memang belum masuk, tapi gelak tawa rekan-rekan kerjaku menjadi obat dari segala obat. Aku merasa benar-benar sehat bertemu mereka. Hari ini aku membantu mereka menghias kelas dengan menggambar asesorisnya, dan dari tahun ke tahun menghias kelas, menyusun program lembaga, memimpin rapat dewan guru bahkan bercanda dalam keadaan duduk, berdiri, berjalan bahkan tidur kulakukan sambil bermesraan dengan HNPku yang sekian lama kupelihara. Hari ini aku benar-benar merasakan bahwa nyeri yang ada hanyalah nyeri bekas operasi. Ingin sekali kuletakkan keningku sebentar saja untuk sujud syukur, tapi aku belum dibolehkan membungkuk, shalatku saja masih sambil duduk.

Ashar terakhir di bulan Juni, dalam isyarat sujudku, lagi-lagi pipiku sudah basah. Allahu Akbar segala puji hanya milikMu, semoga derita hernia nucleus pulposusku benar-benar telah Kautamatkan. Cukup sampai di sini, usai sudah percintaan kita HNPku..

Di IGASku, 30 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day30.

TAMAT..

Minggu, 28 Juni 2015

Puasa atau Puisi..? #Day29

Menjadi manusia yang terlalu pede, itu aku. Merasa sudah bisa bergerak bebas, berjalan cepat, dan merasa siap untuk beraktivitas kembali.

Sampai hari ini, teman-teman dan kerabat yang membesuk ke rumah masih mengalir, rasanya hidup yang diberikan Allah memang istimewa untukku. Saat aku sakit ternyata tidak sendirian, ada banyak sahabat yang terus memberiku semangat dan mendoakanku, jadilah aku sekuat dan sepercaya diri sekarang ini. Alhasil mereka yang menemuiku pasti komentarnya sama; seperti tidak sakit kok, wajahnya sudah seperti orang sehat, dan sudah bisa cerita banyak. Hahaa. Terima kasih.

Wajahku yang sesegar orang sehat memang sudah titipan dari atas, semoga aku memang benar-benar sehat.
Lantaran sudah merasa fit, Ramadhan hari kesebelas kuberanikan diri untuk ikut berpuasa. Ini momen yang aku tunggu-tunggu untuk uji nyali, benarkah aku sudah sehat?

Pagi ikut makan sahur bersama keluargaku tercinta, minum obat seperti biasanya. Keluargaku sudah mengingatkan untuk tidak nekat puasa dulu, karena luka dalam tubuhku masih butuh dipulihkan. Dengan pedenya aku jawab; aku sudah sehat insya Allah. Bismillah..

Saat pagi semuanya baik- baik saja. Kalau lapar dan haus hampir tidak terasa karena seharian pendingin kamarku menyala, Alhamdulillah banyak terbantu. Usai sholat Zuhur babak awal uji nyali dimulai, lukaku menjerit tidak karuan. Beberapa kali aku ambil napas panjang untuk mempertahankan puasaku. Alhamdulillah, hari itu ada tamu datang, sedikit teralihkan dan lupa sedang puasa, lupa dengan nyeri yang ada. Pas giliran tamu pulang, masya Allah. Badanku meriang lagi, kupegang sekujur tubuh ini, panas. Kupilih berbaring tak melakukan aktivitas apapun.
Detik-detik mendekati azan maghrib bibirku gemetar, masya Allah. Mungkin begini yang dirasakan oleh saudara-saudara muslimku di sana yang sedang kelaparan, dan dalam penindasan fisik saat ada peluru yang ditembakkan di bagian tubuh mereka. Nyeri sekali, tak ada kekuatan. Tapi sayang kalau aku harus menyerah sampai di sini. Aku harus bisa menyelesaikan sampai finish.

Azan maghrib tiba. Subhanallah, Alhamdulillah aku bisa melewati saat-saat berat itu. Puasa pertamaku di Ramadhan kali ini.Semoga ini bukan yang pertama dan terakhir.
Eit, ternyata nyeri belum usai. Selesai salam dalam maghribku, di atas kursi bibirku menggigil, nyeri menyerbu, indah banget. Keluargaku menuntunku menuju tempat makan, aku diperingatkan berkali-kali untuk tidak lagi menzalimi diri, mereka meyakinkanku bahwa aku masih sakit, belum sehat. Tapi aku tetap ngeyel bahwa aku sehat, aku bisa puasa sampai maghrib, meski dalam ngeyelku itu kupegang sekujur tubuhku, panas. Entah berapa derajat saat itu, ah akhirnya kutelan sebutir analsik. Rupanya tubuhku dari siang tadi merindukan butir hijau itu masuk ke dalamnya.

Allahu Rabbi, kuamati berkali-kali butiran analsik yang tersisa di tanganku, sampai kapan aku bergantung pada obat ini? Obat yang komposisinya kombinasi metampiron dan diazepam ini benar-benar membungkam jeritan sakitku. Metampiron adalah obat analgesik- antipiretik, sedangkan diazepam mempunyai kerja sebagai antiansietas. Kombinasi inilah yang dapat menghilangkan rasa nyeri sedang sampai berat pasca operasi. Belajar tentang obat-obatan ini jadi teringat saat kuliah di kampus psikologiku dulu, dengan dosen yang seorang dokter killer mengasyikkan. Saat ini di rumah ini, aku juga punya perawat-perawat killer yang dengan wajah menakutkan jika aku ngeyel menyebut diri kuat. Mereka semua begitu sayangnya padaku, sampai akhirnya tidak membolehkanku berpuasa lagi sebelum benar-benar sembuh. Tampaknya saat ini aku memang tak boleh berpuasa dulu, yang boleh adalah berpuisi, puasa atau puisi? hihii.

Mengakhiri tulisan ini, rupanya aku harus belajar menundukkan ego, memunguti kesombonganku, mendengar nasihat keluargaku bahwa sebenarnya aku memang masih perlu bersabar menyimpulkan diri bahwa aku sudah sembuh.

Dini hari di kamarku, 29 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day29

Bersambung..

Sabtu, 27 Juni 2015

Jodoh Oh Jodoh.. #Day28

Sebelum menggoreskan tulisan ini, aku sempat tertawa kecil, kali ini aku ingin menulis tentang jomblo, eh jodoh. Jodoh atau jomblo ya? Di episode ini tentang jodoh dulu deh.^^

Jodoh itu; seperti aku dengan tanggal 17 Juni 2015. Me and HNP; End!!, padahal sebelumnya aku sempat melakoni berbagai cara untuk memisahkan penyakitku, tetapi hasilnya nihil, ternyata Allah memberi jodoh kesembuhan dengan jalan yang sebelumnya kuanggap ngeri. Layaklah kalau Ibuku memberikan doa "semoga jodoh", begitu kira-kira. Eh tapi ada definisi jodoh yang lain ya? Kita bahas deh.

Kali ini aku juga ingin mengaminkan doa Om Tian yang usianya memasuki tiga puluh satu tahun itu, tapi masih jomblo. Katanya semoga Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan terakhir masa jomblonya. Itu artinya dia berdoa pengen segera bertemu jodoh. Aamiin. Om Tian sih keren, tinggi dan wajahnya kurang lebih mirip aku. Perbedaannya dia diciptakan sebagai lelaki dan aku perempuan. Kalau pemirsa menganggapku cantik, berarti Om Tian itu ganteng, hahaa. Ada yang berminat? Hihii..
Kok jadi ngiklanin Om Tian ya? Kapan lagi nama Om Tian masuk ke blog aku kalau ga sekarang? Hihii..

Dari zaman kakek-nenekku dulu, di keluargaku memang tak mau mengenal istilah pacaran. Jadi bisa ditebak bagaimana. Jika anak gadisnya sudah ada yang meminta, pas dilihat agamanya oke, nashabnya oke, matanya oke, eit mata pencarian maksudnya, ya sudah dinikahkan. Keren kan?
Kalau tak cinta bagaimana?, teorinya; cinta itu dapat tumbuh dalam kebersamaan, tresno jalaran soko eketan limo, eh salah, tresno jalaran soko kuliner, eh kulino. Yang tidak tahu bahasa Jawa perlu diterjemahkan deh. Tresno jalaran soko eketan limo, itu artinya cinta tumbuh karena lima puluh ribuan lima, maksudnya uang. Hehee. Kalau tresno jalaran soko kuliner itu artinya cinta tumbuh dari makan-makan. Tapi kalau tresno jalaran soko kulino artinya cinta tumbuh karena kebiasaan. Setuju yang mana hayoo?.

Lanjut ya, jika sebuah pernikahan itu tujuan awalnya karena Allah, maka segala yang dilakukan akan hanya mengharap keridhoan Allah. Kalau ini lebih keren lagi. Yang setuju angkat jempol deh.. ^^

Lalu apakah teori keluargaku itu berarti jodoh itu artinya adalah pasrah bongkok'an? Siapa yang melamar diterima saja? Oh tidak.
Segala akhir, pasti dimulai dari bagaimana menyosialisasikannya. Ibuku misalnya, akan memberikan wejangan kepada anak gadisnya bahwa jadi perempuan itu harus mengibaratkan dirinya sebagai mutiara yang disimpan dalam kotak istimewa. Yang boleh mendapatkan mutiara hanya mereka yang luar biasa, kotak istimewa pun harus tersimpan rapat, menutup auratnya rapat, bicaranya harus hati-hati, pergaulannya pun harus terjaga. Kalau ada perempuan yang obral sana obral sini, tak lagi mampu menjaga pergaulan, itu bukan lagi mengibaratkan dirinya sebagai mutiara, mungkin lebih tepatnya sebagai kerikil, murah? Iya, dan semua bisa menemukannya di samping rel kereta. Wuih sadis!!

Nah karena mutiara, layak ya dapat pangeran yang berhati mulia, yang jika kita mengingatnya, mendengarkan ucapannya, bisa mendekatkan diri kepada Allah. Bukan lelaki yang ngomongnya tinggi tapi tak ada bukti, bukan lelaki yang sok ganteng, sok kaya, sok apalagi ya, bukan itu.
Lelaki yang tidak takut siapa-siapa kecuali kepada Allah. Lelaki yang seperti ini kelak akan menjaga mutiaranya sampai surga. Lelaki yang seperti ini tidak akan lepas dari tanggung jawab sebagai suami, memberi nafkah menjadi kewajiban, karenanya dia akan bersungguh-sungguh dalam pekerjaan.
Menikahi istrinya berarti meleburkan dirinya menjadi keluarga dan kerabat istri, demikian juga keluarga dan kerabatnya akan menjadi bagian dari hidup istri, sebab kebahagiaan istrinya adalah kebahagiaanya, duka istrinya juga dukanya. Bahkan hutang istrinya adalah hutangnya, hahaa.

Apakah jodoh itu sudah diatur dan sudah ditulis dilauhul mahfuz?
Jika jodoh itu takdir, maka kita tak pernah bisa memilih. Dalam Islam, ada wilayah yang kita bisa menguasainya, ada yang tidak bisa kita kuasai. Perihal jodoh, kita masih bisa memilih kok dengan siapa kita layak bersanding. Jika ingin jodoh yang baik, maka sibukkan diri dengan memperbaiki diri. Berusaha sampai garis finish, setelah sampai disanalah Allah membuka tabir yang selama ini ditutupNya, akan muncul sebuah nama yang pernah ditulisNya untuk kita.

Wuaaah, teori sudah penuh ini. Tapi jodoh belum juga datang, sabar ya, sabar..
Allah tidak pernah tidur dan tidak pernah menutup mata atas segala perbaikan diri yang kita lakukan. Yang baik akan bertemu yang baik, jangan asal tangkap saja ya, eh ada loh yang ingin punya pacar beriman, eit jangan mimpi say, yang beriman mah tidak mau pacaran. Yang beriman itu langsung datang meminang, dan menikahimu dengan cara GPL-- Gapake Lama-lama. So sweet ya.. ^^, dan yang perlu digaris bawahi lagi yang namanya jodoh itu setelah adanya aqad nikah. Sebelum itu belum disebut jodoh, di situlah yang disebut qodho Allah, atau pemirsa sebut takdir.
Jadi, yang pacarannya ngebut sok mesra di depan umum, itu namanya sok tahu jodoh. Kamu, kamu, kamu tidak kan?
Apalagi aku, hahahaa..

Wih, tulisanku hari ini bener-bener random ya, itu penggalan kisah nyata juga loh dan tahu tidak? Rasanya lega bisa menuntaskan satu tulisan tentang jodoh.
Ada yang tersenyum dengan tulisan ini, atau ada yang tidak setuju? Atau ada yang mau dijodohkan sama Om Tian? #ehh. Sabar, orangnya juga lagi proses perbaikan untuk mendapatkan yang terbaik.

Untuk semua yang dalam penantian selamat menikmati masa perbaikan diri, jangan lupa mintalah dengan serius kepada pemilik napas kita, sampaikan dengan sejelas-jelasnya jodoh yang diminta, kalau perlu digambar, atau bawa fotonya saat berdoa, sambil nunjuk; jodohkan aku dengan yang ini ya Allah, yang ini.. hikz!! Uhuy..

Semoga segera dipertemukan dengan jodoh yang terbaik. Aamiin.

Surabaya, 28 Juni 2015
Teruntuk Cinta-cintaku tercinta..

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day28

Bersambung..

Aku Cemburu #Day27

Hari ini, Ramadhan memasuki hari kesepuluh. Aku iri pada mereka, iya mereka yang bisa merasakan nikmatnya berlapar-lapar di siang hari, meraup berkah dengan mudah lewat makan sahur. Atau merasakan leganya minum segelas air putih saat azan maghrib tiba.

Ramadhan tahun ini, sampai hari kesepuluh aku masih berbaring di tempat tidur, di kamarku; di ruang berAC, di saat mereka yang berpuasa barangkali menikmati terik matahari. Di kamar ini ada susu sapi, dan minuman yang siap aku teguk kapan saja saat azan zuhur, ashar ataupun tanpa mendengar azan aku boleh minum sepuasnya. Ada kue-kue, buah-buahan yang siap aku lahap kapan saja. Kalau aku lapar aku tinggal bilang; "maem" perawat-perawatku siap mengantar makanan tanpa menunggu azan maghrib.

Di saat semua sibuk makan sahur aku masih sibuk mengurai mimpi di balik selimut tebalku. Perawat-perawat tercintaku itu tidak tega membangunkanku kecuali jika aku mau bangun sendiri. Jika bangun pun aku melahap kue-kue yang ada tanpa menghiraukan sudah imsyak apalagi azan shubuh.
Saat sholat tiba, kami berjamaah di musholah rumah. Sholat sambil duduk, ruku dan sujud dalam isyarat, lama sebentar sudah kurasakan clekit-clekit di bagian bekas sayatan operasi. Jadilah berdoaku cuma sebentar saja.

Jujur aku cemburu dengan mereka yang begitu khusyuknya bertadarus, sementara aku khusyuk dengan ponselku. Aku cemburu dengan mereka yang bisa melakukan tarawih dengan tuma'ninah sementara dalam masa pemulihan ini kondisiku tidak jauh berbeda saat HNP masih bersamaku.

Ramadhan di sepuluh hari pertama ini belum kurasakan perbedaan nyata seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Kalau dulu kehadirannya benar-benar kunantikan, persiapan fisik dan segalanya harus benar-benar tertata rapi, apalagi saat Naufa balita program Ramadhan for Kid untuknya sudah disiapkan sebelum Ramadhan tiba, membelajarinya berpuasa sejak pukul sembilan pagi hingga dia dewasa bisa menunaikan puasa penuh sampai maghrib, mengajaknya gemar berinfak, sampai menyiapkan papan prestasi dan reward untuknya, semuanya mulus terkonsep dan tercapai.

Menyambut Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya seperti menyambut hadirnya kekasih hati. Saat menetapkan satu Ramadhan pun tak kalah hebohnya browsing sana-sini, menunggu sms dari musyrifahku apakah sudah mendapat kabar hilal telah terlihat atau justru ada penggenapan Sya'ban karena bulan tertutup mendung, peristiwa-peristiwa itu dari tahun ke tahun kunikmati dengan indah, dan subhanallah tahun ini benar-benar berbeda.

Tanggal dua puluh sembilan Sya'ban aku memulai opname di rumah sakit, praktis pikiranku tercurah pada masa pra operasi. Sampai akhirnya aku menjalani operasi dan di masa pemulihan aku masih belum berani berpuasa.
Ramadhan tahun lalu bersama teman-teman halqah melakukan sebar takjil dari rumah ke rumah. Ramadhan tahun ini hanya bisa menyupport kegiatan mereka dari jauh. Sejujurnya aku sangat kangen suasana halqah, tapi kadang ketakutanku muncul. Aku belum bisa duduk di lantai, kalaupun duduk di kursi aku belum bisa berlama-lama, tidak sampai sepuluh menit lukaku sudah menjerit galau.

Wajar tidak kalau aku rindu suasana Ramadhan yang dulu? Ramadhan yang benar-benar nyangkut di hati. Ramadhan yang tak kulewati sedikit pun dengan menarik simpati Penggenggam napasku, Ramadhan yang aktif dengan membina kajian adik-adik remaja, melingkar bersama ibu-ibu yang ingin mendengar sedikit kebaikan dari lisanku. Wajar tidak jika aku cemburu pada teman-teman mahaliku yang sibuk meriayah ummat dengan begitu antusiasnya? Wajar tidak jika aku harus galau saat tak kutemukan kehangatan Ramadhan seperti biasanya? Ah, ke mana Ramadhanku yang dulu?

Kalau aku bertanya pada keluargaku tentang aktivitas yang seperti dulu, semua serempak menjawab; aku harus sembuh dulu. Saat aku bercermin dan bertanya pada nuraniku, ada senyum menyeringai. Jika ada galau saat tak kulakukan kebaikan itu tandanya jiwaku sedang sehat. Ini jawaban indah untuk menentramkan pikiranku. Semoga hanya raga ini yang sedang perlu penyembuhan ya Rabbku. Maka mesrakan ia saat sedang membasahkan bibir dalam zikir saat berkhalwat denganMu..

Surabaya, 27 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day27

Bersambung..

Seperti "Hujan Bulan Juni"nya Sapardi #Day26

Mana bisa kulupakan Juni?, bulan di mana diangkatnya HNPku oleh Allah melalui tangan-tangan tim dokter di ruang operasi.
Jadi teringat saat sehari pra operasi, saat visit ke kamarku dokter Zaky menyampaikan kalau dokter hanyalah kepanjangan tangan Allah, sementara sang penyembuh satu-satunya hanyalah Allah. Dokter Zaky meyakinkan aku akan diberi sembuh oleh Allah.

Bagiku, Allah memang maha keren, Allahlah yang memilihkan bulan istimewa untukku; 30 Syaban yang bertepatan dengan 17 Juni 2015 menjadi awal sebuah anugrah untuk hidupku, yaitu proses dicabutnya nyeri dengan dibebaskannya saraf terjepitku.

Tak berlebihan jika kelak di sepanjang hidupku bulan Juni akan menyimpan kenangan abadi, seperti abadinya sajak Sapardi tentang Juni yang bertajuk; Hujan Bulan Juni. Sajak itu aku banget. Hujan bisa mewakili sebuah keberkahan yang diturunkan Allah. Dan benarlah Allah menurunkan keberkahan itu di bulan Juni, sebab di bulan inilah Allah membuka simpul pikiranku yang dahulu sempat tumpul akibat phoby di meja operasi. Allah turunkan malaikat-malaikat yang menjelma keluargaku, sahabatku, walimuridku yang senantiasa memberi semangat luar biasa hingga aku berani memutuskan menjalani operasi pembebasan saraf tulang belakangku.

Kali ini, kuulang sajak Sapardi Djoko Damono dalam berbaringku; Hujan Bulan Juni. Sajak sederhana itu sarat makna. Kukenal nama penyair itu sejak aku masih duduk di bangku SMA, dalam setiap kompetisi baca puisi aku suka membacakan karya Beliau.
Dan bulan ini aku membacakan puisi itu dalam sebuah musikalisasi, di kamar ini. Puisi itu menemaniku menabahkan diri menahan sisa-sisa nyeri luka bekas sayatan pisau operasi di kulit punggungku.

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu
di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Hujan Bulan Juni, SDD-1989)

Di kamarku, Ditemani Hujan Bulan Juni-nya Sapardi.

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day26

Bersambung..

Kamis, 25 Juni 2015

Menyehatlah Diri #Day25

Dini hari di kamarku, aku masih terduduk di atas kursi dengan balutan mukenah tanpa sajadah. Sejujurnya aku rindu memesrakan kening ini dalam sujud panjang di atas sajadah. Tapi fisikku masih belum mampu melakukan itu. Sholat masih kulakukan diatas kursi, ruku dan sujud dalam isyarat.  Rukhsoh yang aku dapat dari Allah di Ramadhan tahun ini.

Usai selesaikan salam dalam witirku, aroma wangi masakan ibu menyusup masuk kamar, benar-benar mengundangku untuk segera berburu makanan di dapur. Cihuy, aku ikut sahur ya Mam, kataku. Ibuku yang cantik itu hanya menjawab dengan senyum.

Ramadhan sudah memasuki hari kedelapan, dan aku belum ikut puasa sama sekali. Di hari ketujuh aku pernah mencoba untuk ikut berpuasa diam-diam. Di tengah perjalanan Naufa dan Ibu sudah menanyakan apakah aku sudah minum obat atau belum. Aku sudah minum obat saat sahur pagi. Tapi siang itu lukaku terasa nyeri sekali, waktunya minum obat nyeri. Ibu mengupaskan mangga manalagi yang diambil dari pohon depan rumah. Ayo dimakan, kata ibu. Minum obat sebab nyeri bekas operasi ini yang membuatku segera membatalkan puasa, dengan mencicipi mangga yang dikupas ibu, subhanallah manisnya.

Hari ini, hari kedelapan pasca operasi. Rombongan tamu masih saja mengalir untuk membesukku. Siang ini atasan papa, para ibu petinggi di kantor. Semua yang membesukku pasti akan berkomentar kok tiba-tiba operasi, dari pertanyaan itu aku harus cerita dari awal. Untungnya setiap kali ada yang menanyakan papa selalu bilang, itu jawabannya lengkap kutulis di blog pribadiku.

Perihal tulisan-tulisanku itu, pra operasi aku tidak pernah memberitahu tentang ocehanku di blog pribadi pada keluargaku, bahkan mereka tak menyangka aku sempat menuliskannya lengkap segala suka dukaku berpacaran dengan HNP. Pasca operasi kukirimkan link tulisanku pada mereka. Aku melihat air mata papa menetes setiap kali menggeser layar android. Lelaki yang kucintai itu tak dapat menyembunyikan rasa, entah sedih terharu atau bahagia, aku tidak paham. Yang kupahami papa selalu mencium keningku dan menitipkan doa; sembuh ya sayang. Kalau sudah begitu aku bandel, seperti anak Taman Kanak-kanak, menarik lengan papa dan mencegahnya beranjak dari sisiku.

Hari ini tak seperti biasanya, badanku meriang. Panas kurasakan seperti saat aku belum menjalani operasi. Bingung? Iya. Luka operasi terasa nyeri, tapi nyeri ini tiba-tiba teralihkan dengan kabar dari admin sekolahku kalau surat izin perpanjangan lembaga sudah kelar. Surat itu sudah kusiapkan sebelum ada panggilan operasi, tapi ternyata masih perlu ini dan itu, perlu tanda tangan papa sebagai ketua yayasan dan aku sebagai leader lembaga. Admin sekolahku masih bisa mengejar tanda tangan papa, tapi tanda tanganku? Pandai-pandainya partner guruku mengatasi masalah itu.
Alhamdulillah, bagiku mereka luar biasa. Satu masalah sudah teratasi. Tapi sore ini, aku meringkuk di dalam selimut di kamarku. Pendingin kamar hidup sempurna. Tak biasanya nyeri manja kembali di tubuhku. Untuk meredakan nyeri mungkin sore ini saatnya aku menyantap kuah ikan gabus yang dimasak Naufa dan Om Tian pagi tadi. Kuharap ini sementara..
Menyehatlah diri, ragamu telah ditunggu banyak makhluk di sana..

Di kamarku, 25 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day25

Bersambung..

Rabu, 24 Juni 2015

Bukan PHP, Selamat Tinggal HNP.. #Day24

Dokter Zaky membuat janji pukul 11 siang bertemu dengan pasiennya, sebab pagi Beliau ada jadwal operasi. Kulirik jam dinding, waktu belum menunjukkan pukul sebelas, tapi sudah ada beberapa pasien dipanggil masuk. Pertama nenek-nenek yang memakai kursi roda yang entah sakit apa. Pasien kedua kakek-kakek berkopyah memakai kursi roda juga, pasien yang ini menderita pusing sepanjang hari, baru saja dioperasi karena ada  cairan di kepalanya. Pasien ketiga seorang bapak-bapak, yang usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari papa. Bapak ini dari tadi kulihat berdiri terus tidak mau duduk. Kalau tidak berdiri selalu mondar-mandir berjalan keluar masuk ruang tunggu. Ternyata kasus bapak ini sama persis sepertiku; pasien pasca operasi saraf tulang belakang. Kami sempat sharing tentang pengalaman rawat inap dan operasi yang kami jalani. Aku menjalani operasi hari Rabu, bapak itu hari Kamis. Tapi bapak itu sudah berjalan seperti tidak pernah melakukan operasi. Subhanallah, sebenarnya aku juga bisa seperti itu, tapi tanpa duduk. Sebab setelah duduk, ketika berdiri seperti ada benda yang mencengkeram pinggang kami. Sebab itulah bapak itu memilih mondar-mandir, sedangkan aku malah memilih duduk cantik di atas kursi roda. Bapak itu dilakukan pengangkatan saraf terjepit di posisi L2, sementara aku di posisi L1. Posisiku memang tempat strategis ; pinggang paling bawah di atas tulang ekor, mungkin begitu. Jadi lumayan nyeri jika dipaksa untuk berjalan setelah duduk.
Saat namaku dipanggil, aku ditemani Naufa dan Papa masuk ruangan dokter Zaky. Bertemu dengan dokterku itu seperti bertemu dengan artis Maher Zein, wajahnya kearab-araban, ganteng dan menyenangkan. Pertama kali  memasuki ruangan beliau yang dibahas adalah cara berjalanku yang katanya seperti pengantin, hahaa.
Dokter Zaky menanyakan perkembanganku, apakah masih ada rasa nyeri seperti sebelum operasi. Aku jawab mantab tidak ada. Subhanallah, sakit yang kupelihara selama 5 tahun bisa hilang dengan menjalani tiga jam pengangkatan lewat operasi. Kulit yang dibedah pun tak sampai sepuluh centi meter hanya seperti goresan kecil. Di sanalah aku melihat hasil foto saat operasi yang dibawa papa, sebelumnya aku belum pernah melihat foto itu. Aku bilang pada dokter Zaky kalau peristiwa operasi yang kujalani itu ajaib, bisa menghilangkan sakit selama lima tahunku. Kata dokter Zaky malah sulapan, dan tidak pernah masuk akal jika dipikir secara nalar. Begitullah kuasa Allah, begitu mudahnya mengangkat penyakit seperti mudahnya Dia memberikan penyakit itu pada seseorang.

Selanjutnya aku berbaring di tempat tidur pasien. Ketakutan luar biasa bersarang di pikiranku. Lampu menyala menyinari pinggangku yang masih penuh balutan perban. Tanganku memegang tangan papa, takut luar biasa. Eh dokter Zaky malah menyuruh mas perawat mengambil celurit, haha. Suasana memang membuatku kalut, balutan perban dilepas dan diganti. Dokter bilang lukaku bagus sudah kering. Naufa sibuk mengabadikan peristiwa itu, jepret sana-sini mirip paparazy. Setelah diberi obat luka perban diganti, lukaku ditutup kembali. Cuma begitu? Iya, begitu saja tegang luar biasa, hahaa.

Dalam perjalanan pulang aku merasakan ada yang beda saat dudukku. Aku duduk di kursi depan samping papa, tanpa alas duduk yang bertahun-tahun kupakai sebagai penyangga setiap naik mobil. Hanya ada bantal kursi yang kupakai bersandar. Mataku berkaca-kaca. Inilah kenyataan yang dulu pernah kuimpikan; duduk di dalam mobil tanpa harus bermesraan dengan nyeri HNP. Dulu aku pernah berpikir bahwa duduk tanpa nyeri akan bisa kurasakan kelak di surga, ternyata Allah memberi hadiah itu di dunia. Aku sembuh, dan resmi bercerai dengan nyeriku.
Ini benar-benar nyata, bukan PHP. Selamat tinggal HNP.
Allahu Akbar.

Surabaya, 24 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day24

Bersambung..

Selasa, 23 Juni 2015

Di atas Kursi Roda #Day23

Selasa, 23 Juni ini jadwal pertama kontrol ke rumah sakit. Jalanku sudah mulai sempurna meskipun tidak bisa cepat. Lagian kan bukan balapan ya, jadi tak perlu cepat-cepat.
Turun dari mobil, kami menuju lobi utama rumah sakit ini yang disebut Grha, namanya mirip perumahanku. Tapi tulisannya tidak ada huruf a di belakang huruf r.
Ketika memasuki gedung Grha di rumah sakit ini kita sudah ditunjukkan sebuah icon tempat yang elit. Rumah sakit berkelas, bagus dan bersih, mungkin itu yang ada di kepala kita. Kalau diteliti lebih dalam sebenarnya bukan hanya tampilannya yang mentereng, tapi pelayanan di sana juga sangat bagus. Dari petugas parkir, securiti, sampai cleaning servisnya mereka murah senyum, baik dan sangat ramah. Haha aku bukan sedang mengiklankan rumah sakit ini loh.

Setelah melewati antrean, aku duduk di kursi roda untuk didorong menuju ruang tunggu di poli bedah saraf. Sejujurnya naik kursi roda ini sungguh malu rasanya. Secara, semua mata menatapku lucu. Apa iya mereka yang melihatku duduk di atas kursi roda akan percaya kalau aku sakit?, secara kasat mata wajahku masih segar, terlihat masih secantik anaknya bu Robinatin, fisikku juga seger--segerdu, hehee. Pemandangan yang jamak adalah mereka yang di dorong pakai kursi roda fisiknya ringkih, kalaupun segar pasti raut wajahnya sudah tua. Ya sudahlah, memang pantas kalau kebanyakan pengunjung akan mengalihkan perhatiannya padaku, memang sudah garis nasib aku harus duduk di atas kursi roda hari ini, daripada berjalan tertatih-tatih sambil meringis, bisa-bisa nyampai poli sudah azan maghrib, hihii.

Ingat kursi roda, ingat saran keluarga pasien yang sempat melihatku berjalan pelan sambil meringis menahan sakit saat dua hari pasca operasi. Jalanku saat itu memang tak selincah hari ini, persis keong kalau aku bilang. Eh, keluarga pasien bilang minta saja dibelikan sepatu roda sama papa, supaya jalannya bisa lebih cepat dan terlihat keren. Auw, iya juga aku pasti lebih keren pakai sepatu roda haha. Naik kereta dorong dilihatin orang, pakai sepatu roda pasti lebih dilihat banyak orang. Yeaah, memangnya mau bikin sensasi?.

Sampai di ruang tunggu, yang mirip counter-counter di mall, rumah sakit ini didesain sangat apik, ruangan tertutup kaca dengan pencahayaan yang indah. Ruang tunggu berAC dan free wifi membuat keluarga pasien jauh dari boring. Di ruang tunggu ini ternyata yang duduk di kursi dorong bukan cuma aku. Ternyata dari empat pasien ada tiga orang pasien yang datang dengan naik kursi dorong. Satunya kakek-kakek pasien yang mengidap pusing berkepanjangan akibat cairan di kepalanya, dan nenek-nenek yang entah sakit apa, satunya lagi aku pasien termuda dan tercantik, haha. Kami semua pasien bedah saraf yang menunggu kedatangan dokter idola; dokter Zaky Bajamal. Seorang dokter profesional yang memiliki sifat humoris luar biasa. Dokter yang selalu memberikan semangat kepada pasiennya supaya tidak manja. Ouw.. aku melirik sepatu rodaku, eh kursi rodaku. Duh, di depan dokter Zaky nanti, pastinya aku harus menyingkirkan benda itu dan berjalan tegap seperti orang sehat. Hihi..

di Surabayaku, 23 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day23

Bersambung..

Senin, 22 Juni 2015

Asam-asam Ikan Gabus #Day22

Lembar kedua puluh dua Juni. Aku sudah mulai mandiri. Bisa makan sendiri, ke kamar mandi sendiri dan melayani kebutuhanku sendiri. Tapi dengan kemandirian ini bukan berarti aku tak butuh orang lain, aku masih butuh Ibu, Papa dan Naufa di sampingku.

Dengan kemandirian ini juga bukan berarti sakitku sudah tidak terasa. Luka bekas operasi masih luar biasa perihnya. Masih sangat kaku untuk bergerak.
Aku banyak browsing cara cepat memulihkan luka operasi. Mungkin Mbah Google memang guru terpandai yang bisa aku tanya ini dan itu, seperti saat pra operasi, bahkan menjatuhkan pilihan PHC sebagai rumah sakit pilihanku menuntaskan HNP, selain ada penguat dari sumber lain, aku setia mengubek-ubek google.

Hari ini aku mendapat satu kata kunci untuk mengeringkan luka operasi dengan cepat. Benarlah kata dokter Zaky, tidak ada pantangan makan apapun selain piring dan sendok. Sebab di masa pemulihan aku butuh nutrisi dan makanan yang tinggi protein. Di sanalah aku mengenal tentang ikan gabus.

Kemaren Ibu sempat clingak-clinguk di pasar untuk mencari ikan gabus, tapi mendapatkan ikan itu sepertinya tak semudah mendapatkan daging sapi atau ayam potong. Lagi-lagi aku penasaran dengan sosok ikan gabus. Di Surabaya ikan itu disebut iwak khuthuk, bukan iwak peyek loh. Heehe..

Aku titip pesan, tanya pada siapa saja yang mungkin mengerti tempat membeli ikan gabus. Sampai akhirnya aku bbm saudara si Gresik. Alhamdulillah mereka mencari ikan langka itu ke pasar-pasar, dan Allah memudahkan mendapatkan ikan yang dimaksud. Seekor ikan gabus harganya empat puluh lima ribu rupiah. Semakin penasaranlah aku bagaimana penjelmaan ikan gabus itu.

Siang itu menu makan siangku sudah siap. Semangkuk asam-asam ikan gabus yang ibu masak dan sajikan dengan cinta. Saat semua berpuasa aku melahap makanan itu dengan nikmatnya. Hihi maaf ya pemirsa, aku memang belum ikut puasa dari awal Ramadhan lalu. Hiks, sedih juga. Eh tapi seneng ding dapat menu asam-asam Ikan Gabus.

Tentang puasa, aku berkonsultasi juga kepada orang-orang penting dalam hidupku. Kalau saran Musyrifahku-guru spiritualku, aku disarankan fokus pada pemulihan sakit, jadi puasa sebaiknya diqodho saja. Pendapat ini sama dengan Ibu dan Papa yang menyarankan aku tidak ikut puasa dulu. Saran-saran mereka semua ternyata berbeda dengan saran dokter Zaky, dalam pesan mesenger beliau mengatakan aku boleh ikut berpuasa. Minum obat di saat sahur dan berbuka. Duh dokter Zaky, menjadi pasiennya benar-benar tak boleh manja. Jadi teringat bagaimana beliau mendoktrinku untuk segera sembuh pasca operasi.

Saat ini, untuk urusan puasa tampaknya bola ada di tanganku, aku mau ikut saran orang-orang untuk tidak berpuasa dulu, atau saran dokter Zaky?
Dan akhirnya aku memilih; menikmati asam-asam ikan gabus kembali. Barokallah.. :)

22 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day22

Bersambung..

Minggu, 21 Juni 2015

Keluargaku, Segalaku #Day21

Dua puluh satu Juni. Hari ini aku dirawat di rumah oleh keluargaku. Mereka semua menjelma perawat yang setia membantu mencukupi urusanku. Dari urusan sarapan, ke kamar mandi, berganti baju, minum obat, sampai mengucurkan air wudhuku, mereka penuhi segala kebutuhanku. Meski kondisi ragaku masih lemah, aku merasa kuat karena ada mereka; Keluargaku. Mereka adalah harta termahal yang Allah anugerahkan untukku. Aku mencintainya, seperti mereka mencintaiku.

Sejak sampai di rumah, masih banyak saudara dan rekan-rekan yang membesukku. Pagi tadi rombongan tetangga datang menyerbu rumah untuk mengunjungiku. Jujur sangat terharu. Sebab awalnya aku tak pernah menyangka kalau ternyata aku memiliki banyak orang-orang tercinta yang menyayangiku. Itulah yang kumaksud bahwa saat sakit begini perasaan lebih sensitif karenanya tak akan pernah kulupa wajah-wajah mereka yang sempat menjabat jemari ini di saat lemahku.

Hari ini ragaku mulai kuat, aku sudah bisa melangkah agak jauh. Perkembanganku akan lebih cepat sembuh di rumah ini, sebab kutemukan segalaku di sini dalam kehangatan keluargaku.

Dalam sakit ini, lagi-lagi aku merasa terhibur. Hari ini mangga depan rumah mulai dipanen. Menyenangkan menyaksikan mangga-mangga itu sempat membesar, meskipun tidak sedikit dari mangga-mangga itu yang masih kecil sudah harus gugur ke tanah. Kisah mangga menjadi analog sederhana tentang usia. Seperti sebuah mangga, tak menunggu besar dulu baru jatuh, yang kecil pun banyak yang jatuh. Sebuah gambaran bahwa kematian tak menunggu tua, kapanpun saat Allah berhak mengambil kita harus siap menghadapinya.

Ingat kematian, ingat sebuah kesempatan. Hari ini, saat keluargaku dengan kasih sayangnya merawat sakitku, ini sebuah kesempatan mahal yang Allah suguhkan untukku. Aku memiliki keluarga yang sangat hangat. Aku sering memesan bahagia lewat doa, kesempatan bersama mereka saat ini adalah segalanya, maka selagi kita bisa memeluk mereka, peluklah. Selagi bisa menciumnya, ciumlah. Menjaga hati dan perasaan mereka itu penting. Semoga segala cinta untuk keluarga tercinta terus mengalir mengisi kesempatan usia yang diberikan Allah pada kita. 

Sembari berharap penuh agar Allah menakdirkan mereka; keluargaku, tak hanya menjadi kebahagiaanku di dunia, tapi juga di surga-Nya

Luv U Keluargaku, Segalaku..

Graha Kencana, 21 Juni 2015

#KisahNyata untuk  #NulisRandom2015 #Day21

Bersambung..

Sabtu, 20 Juni 2015

Pulang #Day20

Hari kelima di rumah sakit, sangat terasa kerinduanku pada rumah. Setiap kali ada perawat masuk kamarku, selalu kutanyakan tentang ACC pulang dari dokter. Semua perawat selalu menjawab; sabar ya..

Semalam pukul dua belas tepat seorang perawat menyuntikkan antibiotik di tanganku. Ini pemberian suntik terakhir katanya, sebab besok aku sudah diberikan obat minum. Berita itu sangat membahagiakanku. Kalau sudah lepas dari obat suntik, itu artinya aku sudah mandiri dari perawat. Kalau minum obat secara oral bisa kulakukan di mana saja. Aktivitasku selanjutnya adalah; menunggu ACC dari dokter Zaky. Ini sungguh menegangkan. Di kepalaku yang tergambar hanya rumah. Aku benar-benar kangen rumah.

Aku sempat bbm teman-teman. Banyak yang memberiku support agar aku bisa pulang secepatnya. Tapi sangat tidak mungkin kata mereka, kalau pulangnya hari ini. Ini hari ketiga pasca operasi, secara kasat mata lukaku masih basah, sakit di daerah operasi masih sangat terasa. Aku sedih kalau ada yang memberi wacana kepadaku bahwa pasien operasi minimal seminggu baru boleh pulang. Masya Allah, aku sudah tidak betah berada di sini. Aku kangen rumah.

Perkembanganku di hari ketiga pasca operasi sangat luar biasa, aku tak lagi bisa berdiri saja, tapi aku sudah bisa melangkah, berjalan pelan-pelan ke kamar mandi sendiri. Ini prestasi luar biasa. Semua keluarga pasien yang melihatku heran, operasi yang dilakukan padaku bukan operasi kecil, tapi aku sudah bisa duduk, berdiri bahkan melangkah di hari ketiga. Aku yakin, kekuatan ini datang dari Allah karena sugesti dokter yang menjadikan pasiennya memiliki perkembangan yang cepat.

Hal yang paling menggembirakan, di hari ketiga pasca operasi, aku sudah mulai bisa berwudhu dengan air, kalau biasanya aku sholat dengan berbaring, sejak kateter dan selang darah dibuka aku sudah mulai bisa melaksanakan sholat dengan duduk. Sudah mulai beraktivitas melaksanakan tarawih, witir dan dhuha semampuku. Melihat perkembangan itu, aku sangat senang sekali. Tapi luar biasa aroma rumah semakin menggangguku. Di hidungku tak ada aroma lain selain aroma rumah. Aku kangen rumah.

Pukul 12.30 siang, aku telah bersiap-siap menggunakan mukenah. Tiba-tiba dokter Zaky datang ke kamar, beliau senang melihatku bisa beraktivitas seperti orang sehat. Kata beliau aku sudah tidak seperti orang sakit. Dan kalimat terakhir beliaulah yang benar-benar kutunggu; aku boleh pulang. Alhamdulillah, akhirnya aku pulang juga. Cihuy..!!

Setelah menyelesaikan administrasi, aku dijemput kursi roda yang siap mengantarku menuju parkir mobil. Perjalanan pulang yang menyenangkan. Sesampai di rumah aku seperti dipertemukan oleh rombongan bahagia yang selama ini aku kangeni. Terima kasih atas karuniaMu ini ya Allah..

Graha Kencana, 20 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandon 2015 #Day20

Bersambung..

Jumat, 19 Juni 2015

Perawatku Cantik #Day19

Hari kedua pasca operasi, dokter Faris mengunjungi kamarku, memaksaku untuk bisa menggerakkan badan, duduk, latihan jalan dan saatnya kateter plus kantong darah dilepas. Masya Allah, merinding bukan main. Ketakutan luar biasa. Bagaimana rasanya jika alat itu dilepas dari tubuhku. Bismillah, pelan-pelan prosesi menegangkan itupun bisa dilalui dengan lancar. Di saat yang sama teman-teman papa dari kantor datang menjengukku. Kami sempat sharing pengalaman tentang penyakit HNP, cukup memberiku pelajaran bahwa setelah operasi pun, kestabilan kondisi harus terus dijaga, aku tidak boleh mengangkat sesuatu yang agak berat.

Hari ini akhirnya aku benar-benar terlepas dari dua selang yang memenjarakan aku di tempat tidur itu. Bersamaan dengan itu, selang infus juga dilepas. Rasanya ragaku benar-benar merdeka. Ingin melompat keluar ranjang. Tapi duh, berat nian panggulku digerakkan. Sakit luar biasa. Mungkin kasus seperti ini telah jamak menghinggapi semua pasien pasca operasi. Hari ini juga aku mulai belajar buang air kecil di kamar mandi. Menuju kamar mandi begitu rumitnya, harus melewati fase-fase yang harus aku jalani, lagi-lagi belajar duduk, belajar berdiri dan belajar jalan. Untungnya aku memiliki perawat pribadi yang cantik dan baik hati, Naufa. Delapan belas tahun lalu saat tubuh kecilnya sakit aku yang menyekanya, saat ia latihan duduk aku yang memberinya semangat, saat ia latihan berdiri dan belajar melangkah, akulah yang pertama kali tertawa memberinya ciuman sayang. Saat sakitku ini, dia menjelma menjadi aku yang dulu, menyeka tubuhku, memberiku semangat untuk belajar duduk, berdiri, dan latihan berjalan juga menyuapiku dengan penuh kasih sayang. Bahkan dia menjagaku dengan sangat telatennya, merayuku saat aku tak mau makan. Persis seperti yang kulakukan dulu saat dia masih bayi.

Sore selepas latihan jalan, aku tertidur. Tiba-tiba terbangun karena kedatangan dokter Zaky dan perawat di kamarku. Dokter Zaky menanyakan perkembanganku. Aku harus dipaksa untuk bisa bangkit, dan berjalan mandiri supaya besok bisa segera pulang. Perkembanganku cukup mencengangkan, Rabu operasi, Kamis duduk, Jumat bisa berjalan. Subhanallah, dokter-dokterku yang genius itu yang memberiku semangat mencapai target itu, semuanya juga tak lepas dari ketelatenan perawatku yang cantik; Naufa.
Terima kasih ya Allah.

Zamrud Tujuh, 19 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day19

Bersambung..

Kamis, 18 Juni 2015

Sakit Bukan Karma #Day18

Ramadhan pertama di tahun ini harus kuhabiskan waktuku di rumah sakit. Lembar kedelapan belas di bulan Juni 2015, saat kaum muslimin beriman memulai menunaikan kewajiban puasa, aku sibuk dengan urusan pribadiku; menata raga.

Di rumah sakit ini penanganan pada pasien serba cepat. Pagi ini kunjungan dokter bedah sarafku ke kamar, menanyakan apakah masih sakit. Schedul beliau hari ini aku harus bisa latihan duduk. Besok latihan jalan, lusa boleh pulang. Ngeri mendengar target-target itu. Bagaimana tidak, saat ini menggerakkan panggul saja beratnya minta ampun. Sakit luar dalam. Kata dokter kalau merasa sakit dilawan saja. Kalau tidak dilawan akan lama sembuhnya.
Bismillah, tempat tidur bagian atas dinaikkan. Pelan-pelan bagian pinggang ikut terangkat. Lumayan sakitnya. Belum ada dua puluh empat jam dari operasi sudah harus dipaksa duduk. Hehe.

Hari ini masih mengalir support dari rekan-rekan dan kerabat. Kebanyakan mengirimkan doa untuk kesembuhanku. Hari ini rombongan walimurid juga datang, mereka tahu dari mana aku mondok di rumah sakit ini, padahal semua sudah aku wanti-wanti untuk tidak memberitahu rumah sakit ini, takut merepotkan. Itu saja alasanku. Sejujurnya tidak ada yang aku harapkan selain doa.

Mendoakan adalah hal yang semestinya dilakukan oleh saudara sesama muslim ketika yang lainnya mendapat musibah, tak terkecuali sakit. Siapa yang menginginkan mendapat sakit?, saya jadi teringat saat senior guru saya beritahu sakit saya. Beliau menyarankan untuk tidak menyiarkan berita sakit ini karena tidak semua orang berpikir positif. Ada yang malah bersuka ria dengan sakit kita, artinya senang jika ada yang sakit. Masya Allah, benarkah? Jika ada yang mendengar temannya sakit lalu yang ada dalam pikiran adalah, dosa apa yang pernah diperbuatnya hingga jatuh sakit, alangkah sempitnya pemikiran itu. Alangkah sempitnya pemikiran Anda yang menganggap sakit hanya Allah timpakan kepada mereka yang berbuat dosa semacam balasan atau karma. Padahal Islam tak pernah mengenal karma. Sakit adalah ujian yang diberikan kepada hamba Allah, tak peduli itu penjahat ataupun pendakwah.

Hari ini sungguh berat, efek obat bius sudah habis. Nyeri kurasakan di mana-mana, belum lagi target untuk latihan duduk. Badan ini masih sangat kaku untuk digerakkan. Jarum infus di punggung tangan kiriku bengkak, akhirnya perawat menusukkan jarum ke punggung tangan kanan. Hehe.. yang ini sama sakitnya saat injeksi antibiotik disuntikkan tadi di siang. Aku hanya bisa mengucap kebesaranMu, Allahu Akbar. Ini cuma sementara, setelah ini aku sembuh, sembuh, dan sembuh..

Akan kubuat perbincangan kita menjadi istimewa,
maka rengkuh aku duhai Pemilik napasku.
Aku lemah,
dan kekuatanMulah yang membangunkanku. ~@PutyAisy 180615

Ya Allah, Inni massaniyad durru wa anta arhamur rahimina, Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang.

Zamrud Tujuh, 18 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day18

Bersambung..

Rabu, 17 Juni 2015

Tertidur Lagi.. #Day17

Lembar ketujuh belas di bulan Juni, segala rangkaian kisahnya tidak dapat terhapus dari sejarah hidupku.
Sejak pagi kami sudah menyiapkan  diri untuk pemanggilan menuju ruang operasi. Aku minta secara khusus kepada Ibu perempuan yang melahirkanku itu untuk tidak ke rumah sakit saat proses operasi. Sebab aku sangat paham siapa beliau dan bagaimana ketegaran beliau jika melihat putrinya. Di rumah sakit ini aku ditemani si cantik Naufa, Om Tian, keponakanku dari Gresik dan Papa tercinta.

Setelah proses pemasangan infus dan berganti drescode pasien aku benar-benar merasa siap. Pukul tujuh pagi, sudah ada panggilan dari ruang operasi. Perawat menyiapkan keberangkatanku. Bed tempatku berbaring akan segera didorong menuju ruang operasi yang jaraknya lumayan jauh dari kamar rawat inap. Orang-orang tercintaku masih melasanakan sholat Dhuha. Naufa baru menyelesaikan wudhunya. Papa masih ada di musholah rumah sakit, di perjalanan menuju ruang operasi Naufa menelponnya.

Di perjalanan itu kubasahi bibir ini dengan zikir, mataku terus memejam, air mata mengalir refleks karena teringat menggunungnya dosa. Sampai di depan kamar operasi tempat tidur berhenti, perawat menghiburku. Papa menghampiriku, meraih tangaku, kuat sayang, tawakal ya. Setelah ini sayang sembuh. Tak bisa dibohongi kesedihan beliau, berkali-kali mengusap air mataku dalam keadaan mata berkaca-kaca. Kudengar isak tangis Naufa, diciumnya pipiku. Dramatis sekali saat itu.
Tempat tidurku didorong masuk ke ruang pra operasi. Saat terbaring sendiri aku teringat ibu. Mataku memejam, kubayangkan ibu dengan cintanya meraih tanganku, melanggamkan doa-doa, pikiranku mulai kalut. Ibu.. aku kangen ibu. Saat itu juga kekuatan Allah mengirimkan sinyal-sinyal rinduku pada beliau, kurasakan getaran hebat doa-doa beliau sampai di ruang itu.

Pukul 07.45 bedku sudah berada di kamar operasi. Ada perawat dan dokter anastesi mengajakku bercanda. Status pasien dan hasil MRI ku dibaca, namaku dieja pelan beserta gelar di belakangnya. Bu guru gelarnya dobel-dobel ya. Aku tersenyum. Tiba-tiba ramai sekali suasana di ruang itu. Semua perawat bergantian bertanya padaku. Dokter anastesi bilang, di sini seperti pasar ya mbak. Yang sakit sampai kaki ya?, dokter anastesi mengusapkan tangannya dari pinggang ke ujung kaki. Oh, sampai kaki. Lagi-lagi aku tersenyum dalam lengkung-senyum itu pandanganku kabur. Aku tak sadarkan diri.

Pukul dua belas, ada suara-suara kudengar. Badanku lemas, tak bisa membuka mata. Hidungku masih terpasang selang oksigen. Kerongkongan panas, dan aku kembali memejam.

Pukul satu siang kubuka mata, berat sekali. Ternyata aku sudah ada di kamar. Dokter bedah sarafku, dokter Zaky Bajamal berkunjung ke kamarku, sambil merem aku jawab pertanyaan sebisanya, kemudian tertidur. Aku merasa kehausan. Tapi tidak boleh ada makanan yang masuk sebelum buang angin. Duh, aku tertidur lagi. Dalam tidur kudengar suara keluargaku datang, dari Sidoarjo dan Surabaya. Sorenya, rombongan dari Gresik. Kesadaranku belum pulih. Masih sangat berat untuk membuka mata. Namun justru saat-saat inilah yang tak pernah bisa kulupakan. Setiap dengar azan aku memulai tayamum dalam tayamum aku tertidur. Setelah bangun aku tayamum lagi, berniat sholat meski dalam isyarat, lagi-lagi aku tertidur. Sampai setiap sholat aku harus ada yang menjaga dan mengingatkan rakaat supaya sampai salam. Luar biasa perjuangan dari takbiratul ihram menuju salam, selalu terganggu efek obat bius. Lebih dari sepuluh kali aku harus mengulang tayamum dan takbiratul ikram untuk setiap sholat, mengulang isyarat sholat lagi, dan selalu berakhir dengan; tertidur lagi. Hihi..

Rasa was-was mulai muncul, aku belum makan apa-apa, kecuali air yang membasahi bibirku. Sebabnya angin belum juga keluar. Naufa menanyakan pada perawat, tidak  mengapa makan sedikit asal tidak muntah. Hal yang menggembirakanku adalah saat-saat seperti itu Papa sudah siapkan buah kesukaanku dari sebelum aku puasa operasi, dan butiran kelengkeng itu benar-benar menguatkanku secara fisik, meskipun saat disuapkan aku selalu tertidur heehe.

Pukul sepuluh malam, kumiringkan badan. Terasa sakit sekali, di pinggangku ternyata masih menggantung selang darah dan kateter. Malam itu juga pukul sepuluh, aku baru bisa buang angin. Allahu akbar. Mataku masih berkunang-kunang. Kesadaran belum benar-benar pulih. Sampai kutuliskannya random ini, kepalaku masih sangat berat. Kutulis semampu pikiranku bekerja, ucapan terima kasihku kepada seluruh kerabat dan rekan-rekan atas doa tulus yang terkirim untukku.

Allahku, terima kasih untuk semuanya. Untuk amanah sakit ini, untuk tumpukan pelajaran dari peristiwa ini, untuk keluarga yang Kau anugerahkan kepadaku, dan untuk dikembalikannya lagi ruh ini pada ragaku. Kujaga idrok silah billah ini sebagai rasa kecintaanku kepadaMu, ampunilah bergunung dosaku..

Zamrud tujuh, 18 Juni 2015

#KisahNyataku untuk #NulisRandom2015 #Day17

Bersambung..

Selasa, 16 Juni 2015

Kau Ada Dalam Prasangkaku #Day16

Di lobi itu, aku menunggu dijemput perawat untuk menuju kamar rawat inap. Ahaaa.. didorong memakai kursi roda, kemudian ceck up darah ke laborat. Ngeri stadium awal, melihat jarum suntik yang siap mengambil darahku. Masa sih aku kalah dengan bayi di sampingku? Bayi itu juga akan menjalani operasi, kalau aku operasi saraf tulang belakang, bayi itu operasi bibir sumbing.

Sampai di kamarku, paling pojok dengan view pohon jambu yang menampakkan buah warna merah, indah sekali. Tidak lama kemudian perawat-perawat yang cantik itu melakukan ceremonial rekam jantung di tubuhku, Alhamdulillah normal. Tensi juga normal. Semua pemeriksaan hari ini mendapatkan hasil normal, besok aku siap dibedah.

Doa dari teman-teman, kerabat dan wali santriku mengalir. Aku kuat sebab itu. Mereka tak hentinya memberiku semangat. Sejujurnya sehari lalu aku depresi hebat sejak mendengar jadwal operasi, tidak ingin makan sama sekali, tidak butuh mandi, tidur pun tak bisa nyenyak. Aku benar-benar takut. Air mataku terus mengalir. Mengapa di saat begini ketegaranku luntur?. Alhamdulillah hari ini ketakutanku terkikis pelan. Bukankah ini yang lama aku tunggu? Salah satu ikhtiar supaya Allah mengangkat penyakitku?

Hari pertama di rumah sakit ini semakin menyadarkanku, saat menunggu jadwal visite dokter bedah saraf dan anastesi di kamar. Beliau-beliau sedang proses operasi, hampir setiap hari menangani operasi. Itu artinya; dokter-dokter yang menanganiku sudah sangat berpengalaman. Lalu apa yang aku takutkan?
Siang itu aku berbaring di kamar, cukup dingin. Nyeri menyerbuku tanpa ampun. Yang aku rasakan di hari-hari terakhir ini, nyeri begitu manjanya. Kubiarkan dia mencumbu sekujur tubuhku, biar saja dia puas-puaskan. Sebab di kepalaku; hari ini percintaan terakhir antara aku dengan nyeri. Esok hari kami pasti berpisah.

Dokter bedah sarafku; dokter Zaky Bajamal menyarankan aku harus banyak berdoa. Insya Allah kesembuhan segera diberikan Allah. Aku senang bukan main mendengar itu. Kasus pasien sepertiku ternyata sangat banyak, dan Alhamdulillah operasi mereka berhasil. Semoga itu juga terjadi padaku. Setelah dokter Zaky giliran dokter anastesi mengunjungiku di kamar, memeriksa fisikku dan menanyakan banyak hal tentang riwayat sakit apa saja yang pernah kuderita. Alhamdulillah lancar.

Kata dokter Zaky besok operasi dilaksanakan pukul tujuh pagi. Antara percaya dan tidak, aku terus menanyakan pada diri, apakah aku siap? Nyeri hari ini adalah alasan yang menguatkanku. Harapanku, ini bukan tulisan terakhirku. Esok masih ada tulisan-tulisanku tentang episode sembuh. Kepada semuanya mohon didoakan agar Allah memberikan kelancaran dan kemudahan untuk operasi esok pagi. Kumiliki prasangka yang baik padaMu tentang ikhtiar ini ya Allah, sebab Kau ada dalam prasangkaku, aku pasti sembuh..

Engkau,
mekar dalam setiap harap di kepalaku.
Kuminta yang indah-indah saja Tuhanku,
sebab tanganMu mengikuti prasangkaku. ~@PutyAisy 160515

Di kamar rawat inapku, 16 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day16

Bersambung

Senin, 15 Juni 2015

Cinta Terbaikku #Day15

Senin ini, jalanan Surabaya tak begitu ramai. Anak-anak sekolah mulai libur awal puasa sekaligus liburan semester.
Ini hari yang indah buatku dan Naufa si cantikku yang sudah lama merindukan bermain-main ke rumah eyang putri yang biasa kami panggil Mbah Uti. Naufa kini telah lulus SMA tapi belum masuk perguruan tinggi, entah disebut apa statusnya sekarang, bukan siswa juga belum mahasiswa. Inilah hari yang menyenangkan karena selama kelas tiga SMA dia jarang ke rumah Mbah Uti.

Di rumah Mbah Uti benar-benar liburan seru. Kami melihat butiran telur dari ayam-ayam milik Mbah Kung. Ada ayam petelur dan beberapa ayam kampung, ini sesuatu banget untuk kami. Sebab biasanya kami mendapatkan telur-telur ayam karena beli, tapi kali ini tidak, kami melihat butiran telur yang ternyata berasal dari ayam piaraan sendiri. Asyik ya.

Benar saja mengasyikkan. Bersama keluarga di sini aku hampir lupa dengan nyeriku meski di setiap detik ia selalu mencolek pinggangku, merayap ke setiap inci kakiku. Nyeri hebat itu tak penting bagiku, karena di sini aku tertawa-tawa melihat kelucuan kucing-kucing piaraan Mbah Uti. Berbagi cerita saat berkumpul dengan keponakan-keponakan yang juga menikmati liburan di rumah neneknya.

Usai sholat dhuha, entah mengapa tiba-tiba ada yang menitik dari mataku, aku membayangkan sesuatu. Tentang operasi itu. Di depanku sebuah gambaran kulit yang harus dibelah kemudian mengucur darah segar. Aku merinding. Tiba-tiba nyaliku menciut, betapa carut marutnya pikiranku saat itu. Aku benar-benar ketakutan. Kata Ibu, dokter lebih mengerti tentang itu, kuatkan niat. Ya, aku harus tetap tenang tanpa boleh takut. Meski saat itu belum tahu kapan jadwal operasiku.

Hari ini luar biasa, di rumah Mbah Uti suasana benar-benar mengaduk pikiranku. Bahagia, terharu, sedih, takut campur jadi satu. Papa mengabarkan bahwa hari ini beliau ditelpon pihak rumah sakit kalau besok aku mulai opname, dan jadwal operasi adalah hari Rabu. "Sehat ya sayang, semoga lancar" kata papa. Aku menangis, entah apa sebabnya. Semoga Allah benar-benar mengangkat penyakitku, hingga aku bisa mempersembahkan cinta terbaikku kepada mereka orang-orang yang mencintaiku..

Bumi Allah, 15 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day15

Bersambung..

Minggu, 14 Juni 2015

Saat Menunggu #Day14

Hari ini tepatnya, ragaku sehat. Sehat? Aku lupa kalau sedang menunggu penjadwalan operasi. Ada sesuatu yang membuat aku membuang kecemasan ini. Beberapa kali mengontak mbak Rezi, menanyakan penjadwalan jawabannya masih sama; harus bersabar. Sabar menunggu.
Kata mbak Rezi-admin di bagian penjadwalan pasien operasi- panggilan akan bersifat sewaktu-waktu, mendadak. Itu artinya aku harus ready kapan saja menuju rumah sakit jika panggilan itu tiba.

Hal yang aku pikirkan saat ini ialah; aku harus bersiap-siap mendapat panggilan, kapanpun itu. Jadi beberapa hari di rumah sakit nanti aku akan membutuhkan baju ganti dan lain-lain, dan itu harus disiapkan saat ini. Satu tas travel berisi kebutuhanku dalam beberapa hari. Duh kalau begini mirip ibu-ibu yang menyiapkan kelahiran jabang bayi. Jadi harus ready kapan saja saat bayi ingin dilahirkan.
Lain ibu hamil lain pula aku. Jika saja HNPku ini bisa bicara, mungkin dia akan mengatakan ingin segera keluar dari ragaku, karena kurasakan saat pagi-siang-malam ia semakin merdu mendendangkan lagu.

.. Menunggu sesuatu yang sangat mengasyikkan bagiku. Saat ku harus bersabar dan trus bersabar menantikan kehadiran dirimu..
Haha.. kok tiba-tiba Aishiterunya Zhifilia yang muncul.
Aku sabar menunggu kok. Swear..!!

Saat asyik menunggu ialah saat asyik pula melamunkan tas travel yang akan penuh baju, aku tertawa sendiri. Wajar tidak sih jika semua aktivitasku jadi ketergantungan dengan jadwal itu?. Yah, untuk mengusir cemas yang ada aku benar-benar merasa sehat seperti biasanya, bahkan aku merasa lupa dengan jadwal menunggu. Baguslah.

Perlu digaris bawahi sekali lagi; menunggu itu harus sabar ya? Iya. Sejujurnya tanpa perlu diajari sabar saat menunggu, kita semua sudah terlatih. Apakah kita sadar jika sebenarnya dua puluh empat jam kita ialah menunggu; menunggu saat masuk waktu sholat dan menunggu disholatkan.

Masalahnya, kebanyakan kita lupa dengan hal itu, bahkan pura-pura lupa kalau kita sedang menunggu.
Dan pertanyaan yang mestinya membuat kita gemetar ialah; saat menunggu sudahkah kita penuhi tas travel kita dengan amalan? Atau kita lebih disibukkan dengan banyaknya lamunan?
Ampuni kami ya Rabb..

Surabaya, 14 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015

Bersambung..

Jumat, 12 Juni 2015

Tentang Kehilangan #Day13

Ketika semua orang merasa sedih sebab kehilangan, barangkali kelak aku akan merasa bahagia karena kehilangan. Kehilangan rasa yang pernah kunobatkan sebagai kekasih; nyeri. Kehilangan hernia nucleus pulposus yang sekian lama bersamaku.

Lain HNPku lain lagi kisah memilukan seorang sahabatku tentang kehilangan. Mungkin alay jika aku bahas di sini. Tapi ini sebuah pelajaran mahal yang semua orang harus tahu.

Berawal dari datangnya sales panci serba guna, mereka menawarkan sebuah acara makan-makan khusus guru. Mereka memasak sendiri makanan itu di hadapan kami. Dari nasi, krawu, bandeng, pop corn, terang bulan dan martabak dalam waktu beberapa menit saja dengan satu panci. Luar biasa kan?, melihat seperti itu kami berdua membelinya, dengan pembayaran cash.
Setelah panci dikirim, satu panci aku bawa pulang, dan satu lagi masih di sekolah. Panci itu milik sahabatku, Riri.

Haripun berganti, sampai tiba pada hari di mana Riri akan mengambil panci itu untuk dibawa pulang ke desa. Semua gudang dibongkar, hasilnya nihil. Semua penghuni sekolah ditanya tidak ada yang tahu. Ternyata eh ternyata panci itu sudah berpindah tangan, entah kepada siapa, yang jelas orang asing yang mengaku sebagai sales dari produk itu dengan alasan pancinya ada kerusakan mau diganti dengan yang baru, pastinya yang memberikan panci itu bukan aku atau Riri sebagai pembeli, tapi orang lain yang tidak tahu menahu soal transaksi kami. Kesimpulannya; panci itu hilang.

Sedih? Iya. Siapa sih yang tidak bersedih karena barang hilang. Meski cuma sebuah panci yang secara harganya berkali-kali lipat dari panci biasa. Untuk melegakan hati, sahabatku itu mengatakan belum rejekinya. Iya banget, bagi penipu mereka hanya mendapatkan barang itu, tapi Riri aku yakin ia akan dapatkan rejeki yang lebih. Untuk ikhlas dalam kondisi seperti dia bagiku prestasi luar biasa.
Dari peristiwa ini banyak pelajaran yang bisa kita petik, diantaranya; untuk tidak mudah percaya dengan orang asing. Siapapun dia. 

Kehilangan?, satu kata itu menghantam ragaku. Saat ini, barangkali aku telah kehilangan masa sehatku, saat menggoreskan tulisan ini saraf-sarafku seperti bernyanyi riang, hal yang sangat biasa saat begini suhu tubuh meninggi, dan nyeri sekali. Barangkali jika boleh meminta, aku tak ingin merasa kehilangan jika suatu saat suasana seperti ini tak lagi hadir dalam hidupku. Sebab sudah kulayangkan dengan jelas pada alamat nyeriku, bahwa aku ingin mengusirnya.

Kisah sebuah panci milik sahabatku dan perihal kehilangan. Melahirkan sebuah catatan kecil berisi penegasan bahwa tidak ada yang kekal di genggaman kita dan sejatinya saat kita kehilangan, kita tak benar-benar kehilangan sebab sejujurnya kita tak pernah memiliki apa-apa..

Surabaya, 13 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day13

Bersambung..

Kantong Sabar #Day12

Juni, lembar ke dua belas. Menikmati DVD pentas seni, geli campur malu. Ada aku dan teman-teman menari kipas, dan itu terjadi dua minggu lalu. Dua hari sebelum MRI berlangsung, saat aku kekeh dengan keegoisan diri; takut disebut pesakit, takut terlihat lemah, takut hernia nucleus pulposusku diketahui dunia. Saat aku menutupi segala nyeri yang kerap singgah.

Aku menari, mengajar tari, menjadi MC, mendongeng, memimpin rapat, mengikuti rapat dalam keadaan mesra dengan nyeri. Aktivitas yang menggunung itu sebagian memang caraku mengelabuhi diri. Sebab dengan beraktivitas segala nyeri seperti pergi.

Hari ini penutupan tahun ajaran di sekolah. Beberapa hari lalu aku mengira tak sempat mengikuti acara akhir ini. Sebab perkiraanku jadwal operasi datang di minggu ini, ternyata tidak. Aku kira sebelumnya operasi bisa dilakukan setiap saat, ternyata tidak. Aku baru tahu bahwa perlu antre dengan pasien lain. Antre operasi dan antre kamar.

Kata orang, menunggu adalah hal yang menjemukan. Saat ini posisiku adalah sebagai pasien yang menunggu antrean. Bagiku ini bukan hal yang menjemukan, justru dalam masa menunggu ini aku bisa menyiapkan sesuatu hal. Setiap nyeri itu datang, cepat-cepat kubawa pikiranku menuju aktivitas yang bisa mengalihkan. Oouuh, aku teringat alpentin, obat nyeri yang diresepkan untuk nyeriku. Tubuhku mungkin tak butuh benda kecil itu. Saat mengonsumsinya nyeri masih saja memeluk erat saraf-sarafku. Kalah dengan sakit yang ada, hingga kuputuskan bahwa aku tak membutuhkannya.

Menunggu antrean sambil menahan rasa nyeri itu sangat indah, setiap tangan yang meraihku mendoakan dan bumbu yang sama adalah kata; sabar. Benarlah, aku butuh kantong yang besar untuk menyimpan sabar. Sabar itu subur, dan yang merasa subur harus sabar. Hee..
Mudahkan ya Rabb.

Surabayaku, 12 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day12

Bersambung..

Kamis, 11 Juni 2015

Sugesti #Day11

Di depanku ada dua buah penyangga untuk berjalan. Apakah aku membutuhkannya?. Jika benda itu aku bawa ke sekolah, tak terbayangkan bagaimana riuhnya komentar anak didikku. Hihi pada akhirnya aku tertawa sendiri. Masa iya aku memakainya? ^^

Sebelumnya tak pernah ada dalam bayangan kalau aku akan mengalami hal ini; kesakitan saat berjalan. Sehingga jalanku harus perlahan dan sangat pelan. Why? Jadi teringat saat dokter Faris bertanya; sakitnya seperti apa mbak?, kujawab; seperti ada benda tajam masuk di badan dok. Menjalar sampai kaki?, kujawab mantab; iya.
Sakit itu akan semakin terasa saat berjalan. Ah, manja banget sih? Kemaren-kemaren mah enggak. Ini mengapa saat ketahuan sakit jadi seperti ini?. Sejak mendengar hasil MRI, hidup ini jadi berubah drastis. Yang awalnya jadi manusia yang cueknya super duper, aktivitas tinggi, loncat sana sini, sekarang berubah jadi sosok ringkih, lebih tepatnya seperti gombal tercelup air, nglemprek.

Kalau sakit ini karena sugesti, mungkin tidak tepat. Sama seperti tidak tepatnya aku saat menyugesti diri bahwa aku sehat. Aku terlalu sok mengatakan bahwa aku sehat. Padahal sejujurnya aku tahu bahwa aku sedang sakit.
Ini pelajaran buat yang lain bahwa tak baik meremehkan kesehatan. Kalau ditanya apakah dulu merasakan sakit? Iya. Tapi kok dulu bisa lari-lari? Iya bisa karena fokusku bukan ke sakit. Di kepalaku saat itu bahwa sakit adalah karena pikiran kita, mungkin ada benarnya hingga aku bisa bertahan sampai lima tahun. Tapi sakit seperti ini, berhubungan dengan fisik bagian dalam dan gerak tubuh kita, semakin dipiara semakin parahlah dia.

Sekarang, jika tak kuat lagi menahan sakit, aku terpaksa merangkak. Mungkinkah ini yang dimaksud beberapa artikel tentang HNP yang jika parah akan menyebabkan kelumpuhan. Mungkin benar, tapi itu tidak untukku. Jadi bagaimana? Apakah aku butuh alat penyangga itu?. Butuh atau tidak, pada akhirnya berangkat pagi tadi satu penyangga ikut masuk ke dalam mobil. Biyuuh, membayangkan aku memakai alat itu? Halah.. aku sehat kok, keadaan seperti ini cuma sementara. Sebentar lagi nyeriku pergi dan aku berjalan tegak lagi. Hee..

Surabaya, 11 Juni  2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day11

Bersambung..

Selasa, 09 Juni 2015

Sebutir Alpentin #Day10

Lembar kesepuluh di bulan Juni. Tulisanku akan berkisah tentang bahagia, tentang aku dan mimpi-mimpi indahku. Mimpi yang baru saja aku tanam. Kubiarkan kuncupnya mekar, kelak ia pasti rimbun di hidupku dan kupanen wanginya dalam nyata.

Semalam, ada hal baru yang tercatat dalam sejarah hidupku. Untuk pertama kalinya aku berani minum obat nyeri. Pada pertemuanku dengan dokter Zaky, aku pernah akan dibuatkan resep, selalu saja aku tidak mau. Bukan apa-apa, aku takut ketergantungan. Saat melihat kondisiku, dokter Zaky berpesan kalau obat bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk mengurangi sakit yang ada, dan kulihat dokter Faris di samping dokter Zaky meresepkan obat.

Di rumah sakit saat itu, aku diminta untuk foto torax sebagai persiapan operasi. Kalau di rumah sakit sebelumnya, kala menunggu saat-saat operasi pasien dipondokkan dulu selama berhari-hari, benar-benar seperti orang sakit. Termasuk aku, dua tahun lalu aku sempat mondok sepuluh hari di rumah sakit untuk persiapan, meskipun akhirnya tidak jadi operasi hehee.
Usai foto kami menunggu hasil dengan memesan makanan di cafe rumah sakit. Saat pertama kali berkenalan dengan rumah sakit ini, ada yang menggelitik di hatiku. Kutemukan sebuah rumah sakit yang justru mirip mall. Ruang-ruangnya cantik, ruang tunggunya berderet seperti toko-toko di mall, ruangan tunggu pasien yang bersih dan ber AC dan satu lagi free wifi. Di tempat periksa anak-anak, penuh dengan lukisan lucu dan alat permainan out door, yang ini mirip taman kanak-kanak. Hal yang menggelitik lagi, di rumah sakit ini ada mini market dan sebuah cafe dengan tatanan apik. Suka! Semoga tak salah pilih, kataku saat itu.
Pindah dokter dan pindah rumah sakit? Hal yang awalnya konyol di kepalaku. Dulu sebelum memutuskan ini, sempat terjadi perang di hatiku. Saat bbm mantan walimuridku yang cantik itu; bunda Richo menyapa, menanyakan perihal HNPku, karena sibuk yang menggunung baru besoknya kubalas sapaan itu. Saat yang sama aku asyik dengan makanan kolang-kaling yang katanya bisa mengobati nyeri hernia nucleus pulposusku. Beliau bercerita bahwa suaminya mengalami sakit yang sama sepertiku. Aku kaget, ah sok gaya kuberi resep tentang makanan yang perlu dikonsumsi penderita HNP. Bunda Richo malah memberitahu kalau suaminya sudah dioperasi. Saat itu juga darahku berdesir hebat. Duh, bertemu dengan kata operasi lagi. Tidak! Aku tak ingin lagi berurusan dengan medis. Cukup sudah upayaku untuk penyakit ini. Lima tahun sudah, segala cara sudah aku lakukan. Dari mengkonsumsi sari mengkudu yang dibelikan papa dengan harga yang lumayan, terapi listrik dengan magnet-magnet, batu giok , terapi sari kacang hijau, pijat refleksi, tusuk jarum akupuntur, pijat totok, terapi yumeho, injeksi vitamin B, terakhir ini kolang-kaling. Terus apalagi ya, banyak. Segala cara aku tempuh, belum kutemukan hasil pasti karena aku tidak telaten. Aku mudah bosan dengan sesuatu yang monoton.
Bunda Richo memberi penjelasan dalam bbmnya itu seperti dokter bedah saraf, membuka kekakuanku. Kata-kata beliau begitu mengena di hatiku. Aku dibutuhkan orang banyak, aku harus sembuh, karena itu perlu meluangkan sedikit waktu untuk mendapatkan sembuh yang banyak. Aku masih juga kaku, aku tak mau dioperasi. Tapi kata bunda Richo; periksakan saja dulu ustazah, semakin cepat memutuskan semakin baik. Kalau ustazah parah, siapa yang mengurusi sekolah? Kata-kata itu bak motivator Mario Teguh, membuatku luluh dan bismillah, aku berjanji pada diriku bahwa aku pasti sembuh, jalan sembuh sudah Allah tunjukkan lewat mutiara yang keluar dari tulisan-tulisan chat bunda Richo kepadaku. Terima kasih ya Allah, terima kasih bunda Richo yang mampu menguraikan pikiran bundelku yang kaku.

Tapi eh, aku manusia kaku. Haha, iyakah? Untuk urusan memutuskan hal yang berkenaan dengan kesehatanku perlu perang batin yang panjang, seperti semalam; untuk menelan sebutir Alpentin di tanganku aku pun perlu berpikir berjuta kali, antara diminum atau tidak. Sementara berjalanku sudah semakin tak seimbang, menahan nyeri. Obat kecil itu susah didapat, beberapa apotek tidak ada. Ternyata papa mendapatkannya justru di apotek dekat tempat tinggal kami yang pinggiran kota. Minum?, tidak?, ah masa untuk urusan minum obat perlu diistikhoroi dulu haha.
Akhirnya, kubuka lebar pintu itu; "Alpentin, selamat datang di hidupku"

Pagi indah di homestayku, 10 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day10

Bersambung..

Di bawah Langit Surabaya #Day9

Ini perjalanan pulang kami dari rumah sakit. Sore yang eksotik, dengan langit Surabaya yang anggun. Di atas tol, dari dalam mobil kuamati keindahannya menghampar dasyat. Maha suci Engkau ya Allah, pelukis keindahan ini.
Di sampingku, driver tercintaku; Papa, tiba-tiba nyletuk. Sampai saat ini Papa penasaran dengan misteri langit. Langit itu apa ya?, kalau bumi, mars sudah pasti bentuknya, tapi langit itu apa?
Aku tertawa, aku malah tidak paham hal itu. Yang aku mengerti, langit banyak memberikan inspirasi untuk puisi-puisiku.

Alam yang menghampar ini demikian tunduknya pada kuasaMu ya Allah. Mereka bertasbih sepanjang siang dan malam. Taat berjalan pada jalurnya masing-masing. Tak ada iri antara satu dengan yang lain.
Semasa kecil dulu, sebelum bercita-cita menjadi guru, cita-citaku adalah menjadi seorang astronot. Aku penasaran bagaimana rasanya berada di ruang angkasa. Jika sampai di sana mungkin aku akan teriak sekeras-kerasnya.
Ingat ruang angkasa teringatlah aku pada nyeri ini. Pernah suatu hari tanpa sadar air mataku meleleh karena begitu ribetnya menata tubuh, berbaring terlentang terasa sakit, menghadap kanan sakit, menghadap kiri juga sakit, telungkup apalagi lebih sakit. Ampun, aku angkat badanku terasa berat. Sampai pikiranku nakal sekali, jika tak ada gaya gravitasi barangkali tak perlu kurasakan beban yang berat ini dan yang tak ada gaya gravitasinya adalah ruang angkasa. Aha, manisnya memulang kenangan mengecup ingin di secawan masa kecilku.

Masa kecil? Sungguh indah masa itu, masa di mana tak ada beban hukum pada kita. Jika saja diwafatkan di usia itu, tanpa hisab pasti masuk surga. Dulu saat aku kecil begitu siapnya melangkahkan kaki menuju surga, siap mati di usia muda. Kemudian dulu jika ada yang menanyakan tentang cita-citaku, kujawab; ingin masuk surga. Simpel banget.
Menjadi dewasa dan sudah setua ini, segala yang kita lakukan tak luput dari pertanggung jawaban. Jika membincang surga, berapa banyak kita yang katanya rindu surga, tapi tanpa ada upaya meraihnya. Saat kesempatan meraih tiket surga diberikan lewat sakit, berapa banyak kita yang tidak terima, sering melalaikannya, bahkan tidak melakukan ikhtiar apapun.
Aku?, pernah dulu. Dan ini nasihat indah untukku.

Hari ini tulisanku benar-benar random, lewat random ini kutemukan bagaimana cara bersenang-senang dengan kata sambil memandang langit Surabaya. Lalu aku titipkan segala doa-doa. Kuundang teman-teman tercinta untuk meninggikan harap, peluk rapuhku dengan doamu kawan, raga ringkih ini masih memiliki semangat tangguh untuk sembuh. Siapapun engkau di sana langitkan doa segera, agar aku bisa mengintipnya, sebab jauh bukan masalah karena sesungguhnya langit kita sama..

Di bawah langit Surabaya, 9 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015

Bersambung..

Senin, 08 Juni 2015

Merdekakan Sarafku #Day8

Selain dokter Zaky, dokter bedah saraf yang menanganiku bernama dokter Faris. Hari ini dokter Faris menunjukkan sebuah film di layar komputer, gambaran dari hernia nucleus pulposus yang aku pelihara selama lima tahun ini di tubuhku. 
Merinding rasanya; dua tulang yang telah rusak menjepit bantalan dan menekan saraf-saraf di sekitarnya. Allahu Rabbi. Dari penjelasan itu aku semakin tak dapat berkutik. Semakin tak sempurnanya diri ini. Pantaskah kukenakan kesombongan?, sesungguhnya sombong itu hanyalah pakaianMu ya Rabb.

Siang itu dokter Faris tidak sendiri, ada dokter Zaky dan dua orang perawat di sana, dan aku masih seperti biasanya ditemani Papa yang setia menjaga dan mencintaiku.

Saat slide-slide film diputar, berkali-kali aku permisi karena aku tidak duduk di kursi pasien, kudengar penjelasan dokter dengan berdiri, sebab nyeri begitu manjanya meminta perhatianku jika aku duduk. Seperti yang kurasakan seharian ini di Rumah Sakit, saat duduk, nyeri datang tanpa ampun, dan tak ada yang bisa kulakukan selain istighfar dan mengusap air mata.

Masih dalam penjelasan dokter Faris, gambaran bantalan yang normal ialah berada pada posisinya, sehingga saraf-saraf di sekitarnya tidak terjepit. Bantalan tulangku tepatnya di L1 bentuknya sudah tidak simetris sehingga saraf-saraf di sekitarnya terjepit.
Penjelasan dokter Faris memberi pelajaran buat kami, demikian sempurnanya penciptaanMu ya Allah. Ada sedikit yang mencoba error dari jalurnya saja menyebabkan tidak seimbangnya seluruh organ tubuh, ini terbukti saat nyeri menyebar kemana-mana. Barangkali nyeri yang ada adalah akibat dari terjepitnya saraf-saraf tersebut. Tugas dokter bedah saraf adalah memerdekakan saraf-saraf itu agar tidak terjepit lagi, dan jalan satu-satunya adalah dengan operasi. Dokter menanyakan kesiapanku. Aku pun menjawab dengan pengharapan agar Allah segera mengangkat penyakitku melalui tindakan apapun. Deal, rencana operasi pun ditanda tangani oleh dokter Zaky.

Lagi, Jika ditanya apakah aku siap operasi? Sangat siap! Rasanya sudah tak sabar menunggu hari bahagia itu, saat tim dokter membebaskan saraf-sarafku dari pasung yang menjepitnya.

Tolong segera merdekakan sarafku Dok, sebab aku yakin Allah akan mengangkat sakitku lewat tanganmu.
Mudahkan ya Allah..

Kota Kelahiranku, 8 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day8

Bersambung..

Minggu, 07 Juni 2015

Deadline.. #Day7

Hari ketujuh,
aku tak ingin menulis kesedihan. Di meja takdir ini Allah menjamu hidupku dengan hidangan yang lezat dan nikmat. Sungguh tak bersyukurnya aku jika tulisan-tulisanku hanya berisi keluhan.

Hari ini akan kuperkenalkan temanku, namanya deadline. Deadline? Who? Deadline is time limit: the time by which something must be done or completed. Wow..!!
Dalam bahasa Indonesia artinya batas waktu, waktu di mana sesuatu pekerjaan harus dilakukan atau diselesaikan.

Pagi tadi deadline menjengukku tiba-tiba. Aku kaget bukan main, lihat kalender sudah tanggal tujuh. Kubaca tugasku satu persatu. Hiks.. hari ini di schedul-ku adalah deadline laporan akhir semester, deadline program kerja, ini dan itu. Kulirik laptopku, ya Rabb benda itu, kalau aku mendekat padanya tanpa diminta sudah pasti kekasihku menghampiri. Kekasih? Iya, nyeri. Padahal hari ini aku tak ingin membahasnya lagi.

Bismillah untuk yang mulia deadline, aku mulai hidupkan laptop lawasku. Masih cantik, dulu dialah yang paling setia mengawalku saat kuliah. Saat pundakku masih kuat menggendong benda seberat itu. Dulu masih belum ada gadget-gadget canggih dan simpel seperti hari ini, kuliah saja yang membawa laptop bisa dihitung dengan jari. Itupun laptopnya besar dan sangat berat hihi. Dulu dia yang setia padaku, sekarang akulah yang setia padanya, dari laptop pribadi yang kumiliki cuma dialah yang paling sering aku ajak berembug tentang program sekolah. Kalau laptop lain tugasnya untuk mengembangkan talentaku.

Kunyalakan pelan-pelan laptopku. Belum genap lima menit, pinggang sebelah kiri serasa disayat benda tajam yang sakitnya masya Allah. Nyeri itu bersambung menuju kaki. Ampun, Allah tak sedang bercanda denganku. Setiap kali duduk nyatanya itu yang muncul. Kuhela napas panjang. Ingat deadline, deadline, deadline. Lawan! Kupaksakan diri menahan nyeri dengan berbaring. Sekian tahun aku bisa melakukannya, mengerjakan tugas-tugasku dengan berbaring. Alhamdulillah sebagian selesai.

Duh, deadline. Mengapa kutetapkan deadline lebih awal?, sejak aku fokus dengan nyeri ini semuanya seperti berlari. Sama seperti ketika aku menugaskan sesuatu pada teman-teman. Mereka sangat paham mengapa harus dikerjakan lebih awal. Rupanya kami semua menjadi kumpulan manusia yang sedang siaga. Pengalaman dua tahun lalu, saat pembacaan hasil MRI oleh dokter sarafku, aku sudah tidak boleh pulang ke rumah. Hari itu juga check in dengan status; pasien pro operasi di sebuah rumah sakit.
Berguru dari yang sudah-sudah, teman-teman pun bahu membahu menyelesaikan tugas lebih awal hingga deadline begitu dekat. Jika nanti kutinggal beberapa hari semuanya sudah siap.

Hari ini, aku mendapat pelajaran dari sebuah deadline. Deadline menjelma monster yang mengejar kami untuk menyegerakan sesuatu karena ada batas waktu.
Andai masing-masing kita menyadari bahwa setiap waktu berlari, kematian menghampiri. Sayangnya Allah tak pernah membocorkan kapan kita mati. Sebab itu semestinya masing-masing kita menetapkan setiap detik menjadi deadline mencari bekal mati. Sebab kematian tak pernah menunggu kita siap atau tidak.
Lalu mampukah kusiapkan lebih awal segala bekal mati, sebelum Izrail berhadapan dengan deadline atas nama nyawaku ini..?

Surabaya, 7 Juni 2015
Di antara 'deadline time'

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day7

Bersambung..

Sabtu, 06 Juni 2015

Jatuh Tercantik #Day6

Juni, lembar ke enam dua ribu lima belas. 

Hari ini ragaku sedang dalam perjalanan menuju Kasembon Malang, menghadiri pernikahan putranya Pak De. Sejak pagi aku sudah bercakap dengan kekasihku; nyeri. Kuajak dia berdiskusi agar di perjalanan nanti ia tidak manja. Aku tahu hari-hari terakhir ini ia sering bersedih, ia merasa bahwa upayaku saat-saat ini akan menjadi hari-hari terakhir bersamanya. Aku sampaikan bahwa cinta kami harus terpaksa berhenti. Suatu saat ia harus pergi dan jangan pernah kembali lagi.
Rupanya, dia memang tak bisa diajak kompromi, dimanapun berada memintaku memerhatikannya. Di sepanjang perjalanan jeritnya menjadi-jadi. Apa yang bisa kulakukan, selain menikmatinya dan mensyukuri kehadirannya.

Kekasihku ini, hadir dalam hidupku secara tiba-tiba. Kapan datangnya pun aku tak pernah tahu. Kutanyakan pada dokter penyebabnya, tapi semua dokter yang pernah merawatku justru balik bertanya, apakah punya pengalaman jatuh? Sebab bantalan tulang yang keluar dari jalurnya bisa disebabkan karena penderita pernah memiliki riwayat jatuh, kata dokter. Jatuh?..

Jika saja benar HNP ini disebabkan oleh pengalaman jatuh. Barangkali salah satu terjatuhku dari motor menjadi penyebabnya. Saat kuliah dulu jatuh dari motor menjadi habit terindah saat di jalan. Dari jatuh tercantik sampai jatuh paling memalukan sudah pernah aku alami.


Jatuh tercantik kualami saat pulang kuliah menuju rumah, saat mata ini begitu berat, kantuk menyerang tanpa ampun. Tiba-tiba saja motor sudah berada di semak-semak, tubuh ini sudah dalam posisi duduk cantik sementara di sekelilingku banyak pengendara berhenti dan mencoba mengulurkan bantuan. Kecelakaan tunggal kata mereka. Mbak ngantuk ya?, aku hanya menjawab dengan anggukan sambil tersenyum. Peristiwa lucu itu tak akan bisa terlupakan. Jatuhnya memang cantik, tapi masya Allah malunya. Hehe.

Kejadian terjatuh yang lain ialah saat berangkat kuliah menghindari jalan berlubang, motorku malah terperosok masuk dan sebelum jatuh sempat menyerempet motor kakek-kakek yang membonceng cucunya. Bajuku penuh lumpur. Ini tak kalah memalukan karena aku harus mengikuti kuliah yang tidak bisa aku tinggalkan.

Pengalaman jatuh yang lain masih banyak dan masing-masing aku telusuri satu persatu, kira-kira jatuh yang manakah yang menyebabkan bantalan tulangku keluar dari jalurnya.
Akibat makan asam garam dalam urusan jatuh, siapa sangka justru membuka pintu perkenalanku dengan nyeri, hingga kami semesra ini.

Dalam tulisan ini aku berpesan kepada teman-teman; kita tidak pernah bisa menghindari takdir saat kita harus terjatuh. Akan tetapi kita bisa mengupayakan agar tidak ada peluang yang menyebabkan kita terjatuh.
Semoga Allah melindungi kita dari hal-hal yang membuat kita jatuh. Kecuali jatuh cinta kepada pasangan halal kita. So!

Dalam perjalanan berangkat dan pulang;
Surabaya-Malang, 6 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day6

Bersambung..