Rabu, 17 Juni 2015

Tertidur Lagi.. #Day17

Lembar ketujuh belas di bulan Juni, segala rangkaian kisahnya tidak dapat terhapus dari sejarah hidupku.
Sejak pagi kami sudah menyiapkan  diri untuk pemanggilan menuju ruang operasi. Aku minta secara khusus kepada Ibu perempuan yang melahirkanku itu untuk tidak ke rumah sakit saat proses operasi. Sebab aku sangat paham siapa beliau dan bagaimana ketegaran beliau jika melihat putrinya. Di rumah sakit ini aku ditemani si cantik Naufa, Om Tian, keponakanku dari Gresik dan Papa tercinta.

Setelah proses pemasangan infus dan berganti drescode pasien aku benar-benar merasa siap. Pukul tujuh pagi, sudah ada panggilan dari ruang operasi. Perawat menyiapkan keberangkatanku. Bed tempatku berbaring akan segera didorong menuju ruang operasi yang jaraknya lumayan jauh dari kamar rawat inap. Orang-orang tercintaku masih melasanakan sholat Dhuha. Naufa baru menyelesaikan wudhunya. Papa masih ada di musholah rumah sakit, di perjalanan menuju ruang operasi Naufa menelponnya.

Di perjalanan itu kubasahi bibir ini dengan zikir, mataku terus memejam, air mata mengalir refleks karena teringat menggunungnya dosa. Sampai di depan kamar operasi tempat tidur berhenti, perawat menghiburku. Papa menghampiriku, meraih tangaku, kuat sayang, tawakal ya. Setelah ini sayang sembuh. Tak bisa dibohongi kesedihan beliau, berkali-kali mengusap air mataku dalam keadaan mata berkaca-kaca. Kudengar isak tangis Naufa, diciumnya pipiku. Dramatis sekali saat itu.
Tempat tidurku didorong masuk ke ruang pra operasi. Saat terbaring sendiri aku teringat ibu. Mataku memejam, kubayangkan ibu dengan cintanya meraih tanganku, melanggamkan doa-doa, pikiranku mulai kalut. Ibu.. aku kangen ibu. Saat itu juga kekuatan Allah mengirimkan sinyal-sinyal rinduku pada beliau, kurasakan getaran hebat doa-doa beliau sampai di ruang itu.

Pukul 07.45 bedku sudah berada di kamar operasi. Ada perawat dan dokter anastesi mengajakku bercanda. Status pasien dan hasil MRI ku dibaca, namaku dieja pelan beserta gelar di belakangnya. Bu guru gelarnya dobel-dobel ya. Aku tersenyum. Tiba-tiba ramai sekali suasana di ruang itu. Semua perawat bergantian bertanya padaku. Dokter anastesi bilang, di sini seperti pasar ya mbak. Yang sakit sampai kaki ya?, dokter anastesi mengusapkan tangannya dari pinggang ke ujung kaki. Oh, sampai kaki. Lagi-lagi aku tersenyum dalam lengkung-senyum itu pandanganku kabur. Aku tak sadarkan diri.

Pukul dua belas, ada suara-suara kudengar. Badanku lemas, tak bisa membuka mata. Hidungku masih terpasang selang oksigen. Kerongkongan panas, dan aku kembali memejam.

Pukul satu siang kubuka mata, berat sekali. Ternyata aku sudah ada di kamar. Dokter bedah sarafku, dokter Zaky Bajamal berkunjung ke kamarku, sambil merem aku jawab pertanyaan sebisanya, kemudian tertidur. Aku merasa kehausan. Tapi tidak boleh ada makanan yang masuk sebelum buang angin. Duh, aku tertidur lagi. Dalam tidur kudengar suara keluargaku datang, dari Sidoarjo dan Surabaya. Sorenya, rombongan dari Gresik. Kesadaranku belum pulih. Masih sangat berat untuk membuka mata. Namun justru saat-saat inilah yang tak pernah bisa kulupakan. Setiap dengar azan aku memulai tayamum dalam tayamum aku tertidur. Setelah bangun aku tayamum lagi, berniat sholat meski dalam isyarat, lagi-lagi aku tertidur. Sampai setiap sholat aku harus ada yang menjaga dan mengingatkan rakaat supaya sampai salam. Luar biasa perjuangan dari takbiratul ihram menuju salam, selalu terganggu efek obat bius. Lebih dari sepuluh kali aku harus mengulang tayamum dan takbiratul ikram untuk setiap sholat, mengulang isyarat sholat lagi, dan selalu berakhir dengan; tertidur lagi. Hihi..

Rasa was-was mulai muncul, aku belum makan apa-apa, kecuali air yang membasahi bibirku. Sebabnya angin belum juga keluar. Naufa menanyakan pada perawat, tidak  mengapa makan sedikit asal tidak muntah. Hal yang menggembirakanku adalah saat-saat seperti itu Papa sudah siapkan buah kesukaanku dari sebelum aku puasa operasi, dan butiran kelengkeng itu benar-benar menguatkanku secara fisik, meskipun saat disuapkan aku selalu tertidur heehe.

Pukul sepuluh malam, kumiringkan badan. Terasa sakit sekali, di pinggangku ternyata masih menggantung selang darah dan kateter. Malam itu juga pukul sepuluh, aku baru bisa buang angin. Allahu akbar. Mataku masih berkunang-kunang. Kesadaran belum benar-benar pulih. Sampai kutuliskannya random ini, kepalaku masih sangat berat. Kutulis semampu pikiranku bekerja, ucapan terima kasihku kepada seluruh kerabat dan rekan-rekan atas doa tulus yang terkirim untukku.

Allahku, terima kasih untuk semuanya. Untuk amanah sakit ini, untuk tumpukan pelajaran dari peristiwa ini, untuk keluarga yang Kau anugerahkan kepadaku, dan untuk dikembalikannya lagi ruh ini pada ragaku. Kujaga idrok silah billah ini sebagai rasa kecintaanku kepadaMu, ampunilah bergunung dosaku..

Zamrud tujuh, 18 Juni 2015

#KisahNyataku untuk #NulisRandom2015 #Day17

Bersambung..

1 komentar: