Senin, 22 Juni 2015

Asam-asam Ikan Gabus #Day22

Lembar kedua puluh dua Juni. Aku sudah mulai mandiri. Bisa makan sendiri, ke kamar mandi sendiri dan melayani kebutuhanku sendiri. Tapi dengan kemandirian ini bukan berarti aku tak butuh orang lain, aku masih butuh Ibu, Papa dan Naufa di sampingku.

Dengan kemandirian ini juga bukan berarti sakitku sudah tidak terasa. Luka bekas operasi masih luar biasa perihnya. Masih sangat kaku untuk bergerak.
Aku banyak browsing cara cepat memulihkan luka operasi. Mungkin Mbah Google memang guru terpandai yang bisa aku tanya ini dan itu, seperti saat pra operasi, bahkan menjatuhkan pilihan PHC sebagai rumah sakit pilihanku menuntaskan HNP, selain ada penguat dari sumber lain, aku setia mengubek-ubek google.

Hari ini aku mendapat satu kata kunci untuk mengeringkan luka operasi dengan cepat. Benarlah kata dokter Zaky, tidak ada pantangan makan apapun selain piring dan sendok. Sebab di masa pemulihan aku butuh nutrisi dan makanan yang tinggi protein. Di sanalah aku mengenal tentang ikan gabus.

Kemaren Ibu sempat clingak-clinguk di pasar untuk mencari ikan gabus, tapi mendapatkan ikan itu sepertinya tak semudah mendapatkan daging sapi atau ayam potong. Lagi-lagi aku penasaran dengan sosok ikan gabus. Di Surabaya ikan itu disebut iwak khuthuk, bukan iwak peyek loh. Heehe..

Aku titip pesan, tanya pada siapa saja yang mungkin mengerti tempat membeli ikan gabus. Sampai akhirnya aku bbm saudara si Gresik. Alhamdulillah mereka mencari ikan langka itu ke pasar-pasar, dan Allah memudahkan mendapatkan ikan yang dimaksud. Seekor ikan gabus harganya empat puluh lima ribu rupiah. Semakin penasaranlah aku bagaimana penjelmaan ikan gabus itu.

Siang itu menu makan siangku sudah siap. Semangkuk asam-asam ikan gabus yang ibu masak dan sajikan dengan cinta. Saat semua berpuasa aku melahap makanan itu dengan nikmatnya. Hihi maaf ya pemirsa, aku memang belum ikut puasa dari awal Ramadhan lalu. Hiks, sedih juga. Eh tapi seneng ding dapat menu asam-asam Ikan Gabus.

Tentang puasa, aku berkonsultasi juga kepada orang-orang penting dalam hidupku. Kalau saran Musyrifahku-guru spiritualku, aku disarankan fokus pada pemulihan sakit, jadi puasa sebaiknya diqodho saja. Pendapat ini sama dengan Ibu dan Papa yang menyarankan aku tidak ikut puasa dulu. Saran-saran mereka semua ternyata berbeda dengan saran dokter Zaky, dalam pesan mesenger beliau mengatakan aku boleh ikut berpuasa. Minum obat di saat sahur dan berbuka. Duh dokter Zaky, menjadi pasiennya benar-benar tak boleh manja. Jadi teringat bagaimana beliau mendoktrinku untuk segera sembuh pasca operasi.

Saat ini, untuk urusan puasa tampaknya bola ada di tanganku, aku mau ikut saran orang-orang untuk tidak berpuasa dulu, atau saran dokter Zaky?
Dan akhirnya aku memilih; menikmati asam-asam ikan gabus kembali. Barokallah.. :)

22 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day22

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar