Minggu, 11 Oktober 2015

HARGA PENDIDIKAN

HARGA PENDIDIKAN

Sesungguhnya, menjadi seorang pendidik anak usia dini itu bukan suatu kebetulan, tapi sebuah pilihan, dan tanpa keterpaksaan mereka para pendidik anak usia dini memilih profesi itu dengan penuh kesadaran.

Di saat orang lain yang sama-sama menyelesaikan pendidikan setingkat dengan para pendidik usia dini memilih profesi lain pendidik anak usia dini tetap kekeh dengan profesinya. Meskipun banyak wajah memicingkan sebelah mata ketika pendidik usia dini harus menjawab atas pertanyaan; ngajar apa mbak? Cuma seorang guru TK?
Ada semacam kasta di pikiran masyarakat bahwa guru anak usia dini dipandang lebih rendah dibandingkan profesi lain.
Dulu waktu kuliah di Psikologi banyak teman saya berkata; wong jadi guru TK saja kok mengambil jurusan Psikologi mbak, repot amat sih. Waduh!!

Mereka yang menjadi pendidik anak usia dini, rasanya kenyang dengan semprotan model apapun. Terlebih mungkin dari walimurid yang "merasa telah membayar" jasa dalam mendidik anaknya selama minimal 2 jam sehari di lembaga. Tak sedikit walimurid yang "merasa telah membayar" itu mudah memberikan stigma "kecewa", "tidak profesional" dan lain-lain ketika pendidik melakukan sebuah kekhilafan meskipun itu tidak disengaja. Ada yang sangat mudah menyalahkan guru ketika anak belum bisa membaca dan menulis, tanpa melakukan introspeksi apakah anaknya sudah siap menuju tahapan itu apakah belum, apakah di rumah telah memberikan stimulasi yang benar ataukah tidak, sebab masing-masing anak memiliki kematangan sendiri-sendiri. Jika diruntut siapakah yang lebih lama bersama anak?, pendidik hanya 2 jam, sementara 22 jam lain bersama siapa? Siapakah yang lebih wajib mengajari anak?
Sementara ketika mendapati anaknya pandai ini dan itu karena diajari oleh pendidik, dinilai sebuah kewajaran.

Entah, sebenarnya apa yang ada di benak para pendidik menghadapi orang tua-orang tua aneh. Jika merasa telah membayar jasa yang diberikan oleh guru-guru yang mengasuh anaknya, berapa harga yang sanggup mereka berikan? Jika sekolah itu menengah kebawah maksimal 150 ribu perbulan. Kita ambil angka paling tinggi SPPnya 150 ribu per bulan (kalangan menengah ke bawah), mari kita berhitung bersama;
Kita pernah jalan-jalan? Harus parkir motor atau mobil? Berapa uang yang Anda bayarkan sekali parkir sehari? Dua ribu?, okelah jika itu 24 hari (jumlah hari efektif belajar) berarti 24 dikali 2000= 48.000, itu untuk memarkir motor. Jika menitipkan anak Anda yang bernyawa, aset masa depan Anda? Berapa harga yang pantas?

Kemudian saat jalan-jalan anak Anda ingin pipis, berapa uang yang harus Anda keluarkan? 2000?, kita kalikan lagi 24 hari, hasilnya 48.000, itu jika Anda yang mengantarkan anak ke toilet, jika tidak ada Anda, siapa yang mengantar mereka? baby sister? Anda butuh biaya lagi untuk menyewa tenaga baby sister, kira-kira berapa ya?, 100 atau 200 ribu bertugas toilet training? Dan faktanya bisa jadi anak Anda lebih dari sekali keluar masuk toilet sekolah.

Di sekolah mereka belajar antre, berbagi, sosialisasi, mengucap kata terima kasih-maaf dan tolong, menghafal asmaul husnah, hadis pendek, bacaan sholat, belajar mengaji, mengenal huruf, belajar membaca dari kata sederhana sampai rumit, jika Anda meminta tenaga privat untuk mengajari mereka, berapa rupiah yang Anda keluarkan? 100 ribu, 200 ribu cukup?
Jadi, 48 ribu ditambah 48 ribu ditambah 100 ribu ditambah 200 ribu ditambah.. Stop!!
Jika kita pandai berhitung berapa rupiah yang pantas Anda keluarkan untuk menitipkan aset berharga Anda, kepada baby sister, kepada pengajar baca tulis?, 150 ribu cukupkah?, belum lagi jika anak Anda tiba-tiba sakit, pendidik pun harus rela menjadi tenaga medis, menangani muntah, diare dan lain-lain. 

Jadi Subhanallah, kalau menengok yang seperti itu rasanya keluh bibir jika sedikit-sedikit Anda harus mengeluh dengan kondisi sepele misalnya hari itu anak Anda belum menyelesaikan iqro'nya, hari itu ada pertengkaran kecil dan menilai para guru lalai, bahkan ada yang menjadi pengawas mengalahkan seorang penilik hanya ingin mencari-cari kesalahan guru anak Anda karena Anda merasa sudah membayar mereka.

Lagi-lagi Stop!! Opini ini saya tulis bukan lahir dari ketidak ikhlasan, lepas dari saya sebagai seorang guru. Saya hanya ingin membuka mata, bahwa betapa berartinya seorang pendidik anak usia dini. Dan ketahuilah, berapapun uang yang Anda keluarkan sesungguhnya tak sebanding dengan yang akan Anda dapatkan. Bahkan berapapun yang Anda keluarkan untuk pendidikan anak jika lillahi ta'Allah sesungguhnya akan dikembalikan Allah dengan keberkahan, Lalu masihkan ada keberkahan jika Anda coreng dengan berbagai stigma negatif tentang guru anak Anda? 

Padahal tanpa perlu diminta para pendidik mencoba memantaskan diri dengan sebutan yang mereka panggul; Pendidik anak usia dini. Tanpa Anda ketahui dengan segenap kemampuan mereka sangat berhati-hati mengayunkan langkah saat berjalan, berhati-hati melahirkan tutur saat berucap, yang seperti itu masih juga Anda tangkap dengan stigma-stigma negatif. 

Tak perlu berhitung dan sesungguhnya para pendidik pun tak pernah berhitung tentang materi. Meskipun barangkali dari mereka masih banyak yang mendapatkan gaji di bawah UMK, belum sertifikasi, belum PNS. Sebab yang tertanam dalam keyakinan mereka, materi yang diterima saat ini masih sebuah DP (uang muka) dari Allah, lebihnya akan diberikan Allah kelak di akhiratNya. Aamiin.
Maka tidaklah heran fakta di lapangan mereka melakukan tugasnya dengan sangat senang dan ikhlas, dan tak ada yang mereka butuhkan selain uluran jemari Anda memberikan kepercayaan. Jadikan mereka mitra yang baik, saling berkomunikasi dengan bahasa yang santun, sebab mereka juga manusia seperti Anda. Saya yakin kekeluargaan yang saling mengisi dan saling menghargai merupakan sebuah penghormatan tinggi melebihi angka-angka materi. Wallahu'alam bi showab.

-Terinspirasi dari kumpulan kisah yang dituturkan teman-teman pengajar dari beberapa lembaga-

Surabaya, 11 Oktober 2015