Jumat, 12 Juni 2015

Kantong Sabar #Day12

Juni, lembar ke dua belas. Menikmati DVD pentas seni, geli campur malu. Ada aku dan teman-teman menari kipas, dan itu terjadi dua minggu lalu. Dua hari sebelum MRI berlangsung, saat aku kekeh dengan keegoisan diri; takut disebut pesakit, takut terlihat lemah, takut hernia nucleus pulposusku diketahui dunia. Saat aku menutupi segala nyeri yang kerap singgah.

Aku menari, mengajar tari, menjadi MC, mendongeng, memimpin rapat, mengikuti rapat dalam keadaan mesra dengan nyeri. Aktivitas yang menggunung itu sebagian memang caraku mengelabuhi diri. Sebab dengan beraktivitas segala nyeri seperti pergi.

Hari ini penutupan tahun ajaran di sekolah. Beberapa hari lalu aku mengira tak sempat mengikuti acara akhir ini. Sebab perkiraanku jadwal operasi datang di minggu ini, ternyata tidak. Aku kira sebelumnya operasi bisa dilakukan setiap saat, ternyata tidak. Aku baru tahu bahwa perlu antre dengan pasien lain. Antre operasi dan antre kamar.

Kata orang, menunggu adalah hal yang menjemukan. Saat ini posisiku adalah sebagai pasien yang menunggu antrean. Bagiku ini bukan hal yang menjemukan, justru dalam masa menunggu ini aku bisa menyiapkan sesuatu hal. Setiap nyeri itu datang, cepat-cepat kubawa pikiranku menuju aktivitas yang bisa mengalihkan. Oouuh, aku teringat alpentin, obat nyeri yang diresepkan untuk nyeriku. Tubuhku mungkin tak butuh benda kecil itu. Saat mengonsumsinya nyeri masih saja memeluk erat saraf-sarafku. Kalah dengan sakit yang ada, hingga kuputuskan bahwa aku tak membutuhkannya.

Menunggu antrean sambil menahan rasa nyeri itu sangat indah, setiap tangan yang meraihku mendoakan dan bumbu yang sama adalah kata; sabar. Benarlah, aku butuh kantong yang besar untuk menyimpan sabar. Sabar itu subur, dan yang merasa subur harus sabar. Hee..
Mudahkan ya Rabb.

Surabayaku, 12 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day12

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar