Minggu, 28 Juni 2015

Puasa atau Puisi..? #Day29

Menjadi manusia yang terlalu pede, itu aku. Merasa sudah bisa bergerak bebas, berjalan cepat, dan merasa siap untuk beraktivitas kembali.

Sampai hari ini, teman-teman dan kerabat yang membesuk ke rumah masih mengalir, rasanya hidup yang diberikan Allah memang istimewa untukku. Saat aku sakit ternyata tidak sendirian, ada banyak sahabat yang terus memberiku semangat dan mendoakanku, jadilah aku sekuat dan sepercaya diri sekarang ini. Alhasil mereka yang menemuiku pasti komentarnya sama; seperti tidak sakit kok, wajahnya sudah seperti orang sehat, dan sudah bisa cerita banyak. Hahaa. Terima kasih.

Wajahku yang sesegar orang sehat memang sudah titipan dari atas, semoga aku memang benar-benar sehat.
Lantaran sudah merasa fit, Ramadhan hari kesebelas kuberanikan diri untuk ikut berpuasa. Ini momen yang aku tunggu-tunggu untuk uji nyali, benarkah aku sudah sehat?

Pagi ikut makan sahur bersama keluargaku tercinta, minum obat seperti biasanya. Keluargaku sudah mengingatkan untuk tidak nekat puasa dulu, karena luka dalam tubuhku masih butuh dipulihkan. Dengan pedenya aku jawab; aku sudah sehat insya Allah. Bismillah..

Saat pagi semuanya baik- baik saja. Kalau lapar dan haus hampir tidak terasa karena seharian pendingin kamarku menyala, Alhamdulillah banyak terbantu. Usai sholat Zuhur babak awal uji nyali dimulai, lukaku menjerit tidak karuan. Beberapa kali aku ambil napas panjang untuk mempertahankan puasaku. Alhamdulillah, hari itu ada tamu datang, sedikit teralihkan dan lupa sedang puasa, lupa dengan nyeri yang ada. Pas giliran tamu pulang, masya Allah. Badanku meriang lagi, kupegang sekujur tubuh ini, panas. Kupilih berbaring tak melakukan aktivitas apapun.
Detik-detik mendekati azan maghrib bibirku gemetar, masya Allah. Mungkin begini yang dirasakan oleh saudara-saudara muslimku di sana yang sedang kelaparan, dan dalam penindasan fisik saat ada peluru yang ditembakkan di bagian tubuh mereka. Nyeri sekali, tak ada kekuatan. Tapi sayang kalau aku harus menyerah sampai di sini. Aku harus bisa menyelesaikan sampai finish.

Azan maghrib tiba. Subhanallah, Alhamdulillah aku bisa melewati saat-saat berat itu. Puasa pertamaku di Ramadhan kali ini.Semoga ini bukan yang pertama dan terakhir.
Eit, ternyata nyeri belum usai. Selesai salam dalam maghribku, di atas kursi bibirku menggigil, nyeri menyerbu, indah banget. Keluargaku menuntunku menuju tempat makan, aku diperingatkan berkali-kali untuk tidak lagi menzalimi diri, mereka meyakinkanku bahwa aku masih sakit, belum sehat. Tapi aku tetap ngeyel bahwa aku sehat, aku bisa puasa sampai maghrib, meski dalam ngeyelku itu kupegang sekujur tubuhku, panas. Entah berapa derajat saat itu, ah akhirnya kutelan sebutir analsik. Rupanya tubuhku dari siang tadi merindukan butir hijau itu masuk ke dalamnya.

Allahu Rabbi, kuamati berkali-kali butiran analsik yang tersisa di tanganku, sampai kapan aku bergantung pada obat ini? Obat yang komposisinya kombinasi metampiron dan diazepam ini benar-benar membungkam jeritan sakitku. Metampiron adalah obat analgesik- antipiretik, sedangkan diazepam mempunyai kerja sebagai antiansietas. Kombinasi inilah yang dapat menghilangkan rasa nyeri sedang sampai berat pasca operasi. Belajar tentang obat-obatan ini jadi teringat saat kuliah di kampus psikologiku dulu, dengan dosen yang seorang dokter killer mengasyikkan. Saat ini di rumah ini, aku juga punya perawat-perawat killer yang dengan wajah menakutkan jika aku ngeyel menyebut diri kuat. Mereka semua begitu sayangnya padaku, sampai akhirnya tidak membolehkanku berpuasa lagi sebelum benar-benar sembuh. Tampaknya saat ini aku memang tak boleh berpuasa dulu, yang boleh adalah berpuisi, puasa atau puisi? hihii.

Mengakhiri tulisan ini, rupanya aku harus belajar menundukkan ego, memunguti kesombonganku, mendengar nasihat keluargaku bahwa sebenarnya aku memang masih perlu bersabar menyimpulkan diri bahwa aku sudah sembuh.

Dini hari di kamarku, 29 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day29

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar