Senin, 01 Juni 2015

Menjadi Patung di Sebuah Tabung #Day2

Bulan Juni, kuawali dengan menerima sebuah job pemotretan di Jl. Sulawesi di kota kelahiranku--Surabaya. Selain sebagai penulis, ternyata aku juga seorang model. Inilah duniaku.

Tetapi, alangkah ribetnya pengambilan foto kali ini. Aku harus rela melepas semua perhiasan yang aku pakai. Untuk satu prosesi pemotretan saat itu, aku pun tak diperkenankan memakai sehelai benang pun kecuali kain dari studio. Difoto dalam keadaan telanjang? Begitulah, hiks..!!

Sebagai model profesional aku harus nurut apa kata fotograferku. Bismillah, aku usir segala ketakutan yang ada.
Rasa berdebar semakin besar saat mobil kami sampai di depan studio foto. Aku ditemani Ibu dan Manajerku tercinta; Papa-yang menguatkan segalaku.

Kubaca pelan tulisan yang terpampang di atas gedung itu "Brain Clinic", Allahu Robbi ini kali kedua aku menjalani prosesi ini, tapi luar biasa merindingnya. 

Di ruang depan, aku mulai menandatangani sebuah perjanjian, semacam MOU begitu, tertulis nominal angka uang, sikapku sangat biasa, beginilah caraku mengusir ketakutan.

Tidak lama kemudian, aku masuk ke ruang ganti kostum, setelah semua siap, detik-detik mendebarkan itupun tiba. Sebuah tabung mirip keranda mayat telah ada di depanku, aku berbaring memejam, selama 30 menit ke depan aku harus diam, tak diperkenankan bergerak, napas panjang, bahkan menelan ludah apalagi batuk. Jadilah aku sebuah patung, memejam dalam kondisi tersadar di ruangan tertutup seukuran liang lahat, sendirian dan sangat dingin. Mungkin beginilah saat kita nanti di dalam kubur, wallahu'alam. Di ruang itu, telinga ini sengaja ditutup rapat, tetapi suara yang ada masih sangat membisingkan, kubayangkan rombongan Malaikat yang sedang bekerja, ramai sekali.

Masya Allah, Anda pasti bertanya, pemotretan apakah itu? Mengerikan. 
Begitulah, kujalani magnetic resonance imaging atau yang dikenal dengan MRI atau pencitraan resonansi magnetik sebuah pemotretan untuk mendeteksi penyakit yang bersarang di tubuhku selama 5 tahun terakhir ini. Dua tahun lalu aku gagal operasi karena ketakutanku, sehingga dokter saraf dan dokter bedah saraf memiliki pendapat berbeda pada hasil diagnosis. Tahun ini kumantapkan diri untuk menjalani apapun asal Allah memberi kesembuhan, atas saran mantan walimurid aku ganti dokter dan ganti Rumah Sakit.

Oh, indah hidupku.
Lewat segala nyeri ini, Allah menyapu bergunungnya dosaku. Indahnya saat dosa-dosa berguguran karena kesabaran.Tapi barangkali, sangat egoiskah aku, jika ingin sembuh?

Surabaya, 2 Juni 2015
Di antara ikhtiarku..

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day2

Bersambung

3 komentar:

  1. Justru sebaliknya, jika engkau tidak ingin sembuh maka engkau telah bersikap egois terhadap dirimu dan keluargamu Put. Wallohu 'alam.. Ngapunten sekedar tegur sapa Put dan aku tunggu tulisanmu selanjutnya alias sambungane cerito iki. :)

    BalasHapus