Jumat, 09 Mei 2014

~ Pelangi di Langit Malam ~


Aku berdiri dalam bayangan yang terkapar lelah, kutatap beningku di atas kolam-kolam taman. Aura itu beberapa waktu lalu terasa bening, tapi tidak hari ini. Begitulah, mungkin sejak tiga purnama menghinggapiku. Sejak aku tak bisa tertidur tanpa sinar-sinar lembut itu, sejak kurebut sepenggal kisah yang menelanjangi masa depanku, sejak idealisme itu terbang, tersangkut di pucuk-pucuk daun teh di kebun itu

Aku adalah awan yang telah kebal, yang tak mungkin menitikkan hujan lagi walau setetes, aku berarak dalam bayangan masa depan yang pernah kulukis dengan tanganku, berlipat-lipat khayal kuterjemahkan sendiri. Aku bukan laki-laki yang tak memiliki hasrat. Aku teramat normal. Tapi waktu menindasku tanpa ampun, ia membiarkanku berlama-lama dingin dan mesra dalam dekapan aktivitasku yang terus mengalir dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu. Aktivitas dakwah, kerja, berputar silih berganti, seolah menyembunyikan bintang yang ingin kupinang. Namun inilah aku, bingkai masa depan yang pernah kupajang dalam kamarku masih utuh. Ia menari mengejekku di antara gelakku dengan malam. Bukannya aku enggan menyapa bintang. Bukan! bukannya aku enggan meraihnya untuk kubawa pulang. Tapi sekujur ketakutan merayap. Satu bintang yang berpijar itu mesti bisa memberikan sinar indah pada malamku, itu yang terus tercatat dalam daun usang yang kini tak bertuan.

Pernah, satu bintang terkapar di atas kepalaku, berpijar indah. Namun pelan sinarnya berpulang tanpa aku bisa mengejarnya. Ah, cukup! bintang-bintang kecil yang datang dan pergi tak bisa kuraih dan aku memang tak ingin meraihnya. Lalu hari-hariku kembali tersungkur, dalam tangis malamku di sepertiga malam, dalam ayat-ayat cintaNya yang senantiasa menawanku. Dalam gerak dakwah yang manis, dalam pengabdianku pada aset-aset negeri ini, kunikmati indahnya menjadi aku.

Sampai suatu waktu, aku menemukan sinar lembut itu. Serpihan goresan jiwanya memesonaku, akupun menyapanya. Tapi ia terhenti dalam diam yang tak bertuan. Aku menjadi awan yang mudah mendung, meneteskan air mata, ia teramat lembut untukku bintang yang berpijar indah itu terlupakan sejenak. Ia bukan sekedar bintang, namun pelangi. Ya pelangi yang kutemukan ketika terjadi pembiasan di jagad ini, ketika kuteteskan hujanku, ketika mentari menyeruak membisikkan keindahannya padaku. Dia lahir dengan indahnya. Satu rasa terbangun. Aku menyayangi pelangi itu, berharap ia mau bersanding menemaniku sampai rambutku beruban nanti, berharap dari rahimnya terlahir benih-benihku, kutawarkan kata sepakat agar tak berlama-lama memendam rasa. Dengan santun aku mengibah, dengan indahnya pula ia lepas resah. Kulihat sebentuk mendung diwajahnya.
“Hai, aku adalah awan yang akan berarak dalam angakasamu duhai pelangiku”, kataku padanya.
Pelangiku meneteskan lara yang melahirkan Tanya. Aku berlari, ingin aku meraihnya namun mendung pula bergelayut dalam mataku. Aku telah buta. Aku menyayanginya, menyayanginya, menyayanginya, dan kuulangi lagi: aku ingin memilikinya.

Pelangiku mengulurkan tangannya, aku ingin meraihnya. Tapi tidak, lagi-lagi kami harus memulangkan rasa ini, pelangiku menata warna-warninya dengan kanvas-kanvas yang telah ada pemiliknya. Jelas, aku telah kalah. Tak mungkin aku bisa meraihnya. Lagi-lagi aku terhenti dengan sebaris harapan, biar kutulis dengan pena yang tak lagi bisa tersenyum dalam pengharapanku; aku ingin melangkah. Namun mendung di pelangiku terus bergelayut,  tatapannya sembab. Ia mengharapkanku meraihnya. Aaah! aku ingin berteriak. Aku bisa apa? aku menyayangimu, menyayangimu, menyayangimu terus  kuulang kata itu.

Aku, tetaplah awan yang berarak dalam tiga purnama pelangiku  membiusku. Aku terjangkit amnesia pada idealisme yang pernah rapi kukantongi. Sejak di langit malam itu pernah terpampang lukisan mesra yang tersangkut dipucuk-pucuk daun teh di kebun itu, lukisan dengan sinar-sinar lembut yang terus menyapa. Duhai, entah kapan memulangkan rindu ini padanya. Kukembalikan segala urusanku padaMu Wahai kekasih, Engkaulah  yang pernah menuliskan ada tidaknya nama kami di langitMu.

Surabaya, 7 Oktober 2010

1 komentar:

  1. KeBeRaDaaNMu SePeRTi aWaN YaNG TiMBuL TeNGGeLaM Di LaNGiT HaTiKu, eNTaH iTu KeSeNGaJaaN SeMeSTa aTau KeSeNGaJaaN DiRiMu aGaR aKu PaDaMu SeMaKiN CiNTa.

    BalasHapus