Selasa, 30 Juni 2015

Usai Sudah #Day30 (tamat)

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat, seluruh pasien di ruang tunggu merasa galau, karena sudah sejak pagi menunggu tapi dokter belum juga muncul di tempat praktiknya. Berulang kali perawat meminta maaf karena dokter yang kami tunggu-tunggu itu sedang proses operasi di lantai atas di rumah sakit ini.

Seorang perempuan tua yang duduk di kursi roda menangis tersedu, pasien pasca operasi saraf kaki itu tak kuat menahan nyeri. Di sebelahku pasien pasca operasi saraf mata yang dibalut perban bagian atas telinganya, ia tampak membisu di antara dua pengantar yang bercakap-cakap denganku. Tepat duduk di sebelah kiriku perawat pribadiku yang sudah mulai boring. Berkali-kali dikeluarkannya tab dari dalam tasnya, kemudian sebentar-sebentar menyodorkan susu dan makanan lainnya padaku. Dalam situasi seperti itu aku tolak, aku malu saat Ramadhan harus melahap makanan di tempat umum. Di depanku mondar-mandir pasien yang sekasus denganku, pasien pasca operasi saraf tulang belakang. Semua pasien dan para pengantar tampak resah, tak biasanya jadwal dokter Zaky molor demikian lamanya.

Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul setengah satu siang. Sekarang giliran lukaku yang resah. Aku paham kalau seperti itu tandanya dia sedang rindu sebutir analsik. Kacau! Aku belum makan siang, mana mungkin berani memasukkan obat itu ke tubuhku. Akhirnya kucari tempat persembunyian untuk bisa melahap sepotong roti dan sekotak susu, di lorong rawat inap ruang bersalin. Haha.. ini sangat lucu, orang pasti akan mengira aku akan melahirkan atau apalah, ah biar saja, semoga menjadi doa.

Pukul satu siang, tampaknya dokter sudah datang. Namaku dipanggil seorang perawat di urutan nomor empat. Dokter spesialis bedah sarafku itu menanyakan perkembanganku. Perban yang menutupi luka bekas operasiku dibuka perlahan. Lagi-lagi kurasakan ketakutan luar biasa. Pinggiran lukaku ditepuk-tepuk, sedikit geli tapi memang sudah tidak sesakit saat awal operasi. Kata dokter Zaky luka luar sudah kering, maka tidak perlu diperban lagi dan mulai besok sudah boleh mandi. Ada lagi yang disampaikan kepadaku, nanti aku sudah bisa berlebaran tanpa sakit, aku dinyatakan sembuh dan tak perlu kontrol lagi dalam waktu dekat, kecuali jika ada keluhan. Aku boleh kembali satu bulan lagi untuk dievaluasi. Hal yang belum boleh aku lakukan adalah; membungkuk, menggendong dan mengangkat beban. Kata dokter, luka luarku sudah sembuh. Hah? Aku sembuh? Ingin melompat tinggi atau sujud syukur, tapi sayangnya dua aktivitas itu tak bisa kulakukan mengingat ketakutanku jika nyeri itu muncul.

Pulang dari rumah sakit dalam keadaan luka tanpa dibalut perban. Di dalam mobil aku letakkan bantalan kursi tepat di belakangku. Luka ini terasa nyeri. Subhanallah dokterku yang menyuplai kami dengan sugesti itu benar-benar menggemaskan, masa sih masih terasa sakit begini dibilang sembuh?, nyeri ini masih kerasan. Dan barangkali masih butuh waktu sebulan lagi untuk mengeringkan luka dalam. Melihat aku masih merasakan nyeri, papa tidak tega membiarkan luka bekas operasiku terbuka, akhirnya ditutup lagi dengan perban, dan aku masih belum boleh mandi.

Hari ini, akhir Juni yang manis. Pagi-pagi aku sudah mulai menyeka badanku secara mandiri. Pagi yang segar, sambil menunggu diantar papa menuju tempat kerjaku, kembali kuputar puisi bulan Juni.

Juni ini sangatlah istimewa. Untuk mendedikasikan indahnya bulan Juni, kusempatkan pagi ini untuk merecord musikalisasi puisi hujan bulan Juni, yang rencananya akan aku unggah di soundcloud. Tapi soundcloudku saat ini sedang error, mungkin aku akan mengunggahnya di youtube, kalau tidak sempat cukup di facebook. Halah, mungkin lebay ya. Hihii.

Hari ini di tempat kerjaku, kutemukan cinta yang lama kurindukan. Anak didik kami memang belum masuk, tapi gelak tawa rekan-rekan kerjaku menjadi obat dari segala obat. Aku merasa benar-benar sehat bertemu mereka. Hari ini aku membantu mereka menghias kelas dengan menggambar asesorisnya, dan dari tahun ke tahun menghias kelas, menyusun program lembaga, memimpin rapat dewan guru bahkan bercanda dalam keadaan duduk, berdiri, berjalan bahkan tidur kulakukan sambil bermesraan dengan HNPku yang sekian lama kupelihara. Hari ini aku benar-benar merasakan bahwa nyeri yang ada hanyalah nyeri bekas operasi. Ingin sekali kuletakkan keningku sebentar saja untuk sujud syukur, tapi aku belum dibolehkan membungkuk, shalatku saja masih sambil duduk.

Ashar terakhir di bulan Juni, dalam isyarat sujudku, lagi-lagi pipiku sudah basah. Allahu Akbar segala puji hanya milikMu, semoga derita hernia nucleus pulposusku benar-benar telah Kautamatkan. Cukup sampai di sini, usai sudah percintaan kita HNPku..

Di IGASku, 30 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day30.

TAMAT..

Minggu, 28 Juni 2015

Puasa atau Puisi..? #Day29

Menjadi manusia yang terlalu pede, itu aku. Merasa sudah bisa bergerak bebas, berjalan cepat, dan merasa siap untuk beraktivitas kembali.

Sampai hari ini, teman-teman dan kerabat yang membesuk ke rumah masih mengalir, rasanya hidup yang diberikan Allah memang istimewa untukku. Saat aku sakit ternyata tidak sendirian, ada banyak sahabat yang terus memberiku semangat dan mendoakanku, jadilah aku sekuat dan sepercaya diri sekarang ini. Alhasil mereka yang menemuiku pasti komentarnya sama; seperti tidak sakit kok, wajahnya sudah seperti orang sehat, dan sudah bisa cerita banyak. Hahaa. Terima kasih.

Wajahku yang sesegar orang sehat memang sudah titipan dari atas, semoga aku memang benar-benar sehat.
Lantaran sudah merasa fit, Ramadhan hari kesebelas kuberanikan diri untuk ikut berpuasa. Ini momen yang aku tunggu-tunggu untuk uji nyali, benarkah aku sudah sehat?

Pagi ikut makan sahur bersama keluargaku tercinta, minum obat seperti biasanya. Keluargaku sudah mengingatkan untuk tidak nekat puasa dulu, karena luka dalam tubuhku masih butuh dipulihkan. Dengan pedenya aku jawab; aku sudah sehat insya Allah. Bismillah..

Saat pagi semuanya baik- baik saja. Kalau lapar dan haus hampir tidak terasa karena seharian pendingin kamarku menyala, Alhamdulillah banyak terbantu. Usai sholat Zuhur babak awal uji nyali dimulai, lukaku menjerit tidak karuan. Beberapa kali aku ambil napas panjang untuk mempertahankan puasaku. Alhamdulillah, hari itu ada tamu datang, sedikit teralihkan dan lupa sedang puasa, lupa dengan nyeri yang ada. Pas giliran tamu pulang, masya Allah. Badanku meriang lagi, kupegang sekujur tubuh ini, panas. Kupilih berbaring tak melakukan aktivitas apapun.
Detik-detik mendekati azan maghrib bibirku gemetar, masya Allah. Mungkin begini yang dirasakan oleh saudara-saudara muslimku di sana yang sedang kelaparan, dan dalam penindasan fisik saat ada peluru yang ditembakkan di bagian tubuh mereka. Nyeri sekali, tak ada kekuatan. Tapi sayang kalau aku harus menyerah sampai di sini. Aku harus bisa menyelesaikan sampai finish.

Azan maghrib tiba. Subhanallah, Alhamdulillah aku bisa melewati saat-saat berat itu. Puasa pertamaku di Ramadhan kali ini.Semoga ini bukan yang pertama dan terakhir.
Eit, ternyata nyeri belum usai. Selesai salam dalam maghribku, di atas kursi bibirku menggigil, nyeri menyerbu, indah banget. Keluargaku menuntunku menuju tempat makan, aku diperingatkan berkali-kali untuk tidak lagi menzalimi diri, mereka meyakinkanku bahwa aku masih sakit, belum sehat. Tapi aku tetap ngeyel bahwa aku sehat, aku bisa puasa sampai maghrib, meski dalam ngeyelku itu kupegang sekujur tubuhku, panas. Entah berapa derajat saat itu, ah akhirnya kutelan sebutir analsik. Rupanya tubuhku dari siang tadi merindukan butir hijau itu masuk ke dalamnya.

Allahu Rabbi, kuamati berkali-kali butiran analsik yang tersisa di tanganku, sampai kapan aku bergantung pada obat ini? Obat yang komposisinya kombinasi metampiron dan diazepam ini benar-benar membungkam jeritan sakitku. Metampiron adalah obat analgesik- antipiretik, sedangkan diazepam mempunyai kerja sebagai antiansietas. Kombinasi inilah yang dapat menghilangkan rasa nyeri sedang sampai berat pasca operasi. Belajar tentang obat-obatan ini jadi teringat saat kuliah di kampus psikologiku dulu, dengan dosen yang seorang dokter killer mengasyikkan. Saat ini di rumah ini, aku juga punya perawat-perawat killer yang dengan wajah menakutkan jika aku ngeyel menyebut diri kuat. Mereka semua begitu sayangnya padaku, sampai akhirnya tidak membolehkanku berpuasa lagi sebelum benar-benar sembuh. Tampaknya saat ini aku memang tak boleh berpuasa dulu, yang boleh adalah berpuisi, puasa atau puisi? hihii.

Mengakhiri tulisan ini, rupanya aku harus belajar menundukkan ego, memunguti kesombonganku, mendengar nasihat keluargaku bahwa sebenarnya aku memang masih perlu bersabar menyimpulkan diri bahwa aku sudah sembuh.

Dini hari di kamarku, 29 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day29

Bersambung..

Sabtu, 27 Juni 2015

Jodoh Oh Jodoh.. #Day28

Sebelum menggoreskan tulisan ini, aku sempat tertawa kecil, kali ini aku ingin menulis tentang jomblo, eh jodoh. Jodoh atau jomblo ya? Di episode ini tentang jodoh dulu deh.^^

Jodoh itu; seperti aku dengan tanggal 17 Juni 2015. Me and HNP; End!!, padahal sebelumnya aku sempat melakoni berbagai cara untuk memisahkan penyakitku, tetapi hasilnya nihil, ternyata Allah memberi jodoh kesembuhan dengan jalan yang sebelumnya kuanggap ngeri. Layaklah kalau Ibuku memberikan doa "semoga jodoh", begitu kira-kira. Eh tapi ada definisi jodoh yang lain ya? Kita bahas deh.

Kali ini aku juga ingin mengaminkan doa Om Tian yang usianya memasuki tiga puluh satu tahun itu, tapi masih jomblo. Katanya semoga Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan terakhir masa jomblonya. Itu artinya dia berdoa pengen segera bertemu jodoh. Aamiin. Om Tian sih keren, tinggi dan wajahnya kurang lebih mirip aku. Perbedaannya dia diciptakan sebagai lelaki dan aku perempuan. Kalau pemirsa menganggapku cantik, berarti Om Tian itu ganteng, hahaa. Ada yang berminat? Hihii..
Kok jadi ngiklanin Om Tian ya? Kapan lagi nama Om Tian masuk ke blog aku kalau ga sekarang? Hihii..

Dari zaman kakek-nenekku dulu, di keluargaku memang tak mau mengenal istilah pacaran. Jadi bisa ditebak bagaimana. Jika anak gadisnya sudah ada yang meminta, pas dilihat agamanya oke, nashabnya oke, matanya oke, eit mata pencarian maksudnya, ya sudah dinikahkan. Keren kan?
Kalau tak cinta bagaimana?, teorinya; cinta itu dapat tumbuh dalam kebersamaan, tresno jalaran soko eketan limo, eh salah, tresno jalaran soko kuliner, eh kulino. Yang tidak tahu bahasa Jawa perlu diterjemahkan deh. Tresno jalaran soko eketan limo, itu artinya cinta tumbuh karena lima puluh ribuan lima, maksudnya uang. Hehee. Kalau tresno jalaran soko kuliner itu artinya cinta tumbuh dari makan-makan. Tapi kalau tresno jalaran soko kulino artinya cinta tumbuh karena kebiasaan. Setuju yang mana hayoo?.

Lanjut ya, jika sebuah pernikahan itu tujuan awalnya karena Allah, maka segala yang dilakukan akan hanya mengharap keridhoan Allah. Kalau ini lebih keren lagi. Yang setuju angkat jempol deh.. ^^

Lalu apakah teori keluargaku itu berarti jodoh itu artinya adalah pasrah bongkok'an? Siapa yang melamar diterima saja? Oh tidak.
Segala akhir, pasti dimulai dari bagaimana menyosialisasikannya. Ibuku misalnya, akan memberikan wejangan kepada anak gadisnya bahwa jadi perempuan itu harus mengibaratkan dirinya sebagai mutiara yang disimpan dalam kotak istimewa. Yang boleh mendapatkan mutiara hanya mereka yang luar biasa, kotak istimewa pun harus tersimpan rapat, menutup auratnya rapat, bicaranya harus hati-hati, pergaulannya pun harus terjaga. Kalau ada perempuan yang obral sana obral sini, tak lagi mampu menjaga pergaulan, itu bukan lagi mengibaratkan dirinya sebagai mutiara, mungkin lebih tepatnya sebagai kerikil, murah? Iya, dan semua bisa menemukannya di samping rel kereta. Wuih sadis!!

Nah karena mutiara, layak ya dapat pangeran yang berhati mulia, yang jika kita mengingatnya, mendengarkan ucapannya, bisa mendekatkan diri kepada Allah. Bukan lelaki yang ngomongnya tinggi tapi tak ada bukti, bukan lelaki yang sok ganteng, sok kaya, sok apalagi ya, bukan itu.
Lelaki yang tidak takut siapa-siapa kecuali kepada Allah. Lelaki yang seperti ini kelak akan menjaga mutiaranya sampai surga. Lelaki yang seperti ini tidak akan lepas dari tanggung jawab sebagai suami, memberi nafkah menjadi kewajiban, karenanya dia akan bersungguh-sungguh dalam pekerjaan.
Menikahi istrinya berarti meleburkan dirinya menjadi keluarga dan kerabat istri, demikian juga keluarga dan kerabatnya akan menjadi bagian dari hidup istri, sebab kebahagiaan istrinya adalah kebahagiaanya, duka istrinya juga dukanya. Bahkan hutang istrinya adalah hutangnya, hahaa.

Apakah jodoh itu sudah diatur dan sudah ditulis dilauhul mahfuz?
Jika jodoh itu takdir, maka kita tak pernah bisa memilih. Dalam Islam, ada wilayah yang kita bisa menguasainya, ada yang tidak bisa kita kuasai. Perihal jodoh, kita masih bisa memilih kok dengan siapa kita layak bersanding. Jika ingin jodoh yang baik, maka sibukkan diri dengan memperbaiki diri. Berusaha sampai garis finish, setelah sampai disanalah Allah membuka tabir yang selama ini ditutupNya, akan muncul sebuah nama yang pernah ditulisNya untuk kita.

Wuaaah, teori sudah penuh ini. Tapi jodoh belum juga datang, sabar ya, sabar..
Allah tidak pernah tidur dan tidak pernah menutup mata atas segala perbaikan diri yang kita lakukan. Yang baik akan bertemu yang baik, jangan asal tangkap saja ya, eh ada loh yang ingin punya pacar beriman, eit jangan mimpi say, yang beriman mah tidak mau pacaran. Yang beriman itu langsung datang meminang, dan menikahimu dengan cara GPL-- Gapake Lama-lama. So sweet ya.. ^^, dan yang perlu digaris bawahi lagi yang namanya jodoh itu setelah adanya aqad nikah. Sebelum itu belum disebut jodoh, di situlah yang disebut qodho Allah, atau pemirsa sebut takdir.
Jadi, yang pacarannya ngebut sok mesra di depan umum, itu namanya sok tahu jodoh. Kamu, kamu, kamu tidak kan?
Apalagi aku, hahahaa..

Wih, tulisanku hari ini bener-bener random ya, itu penggalan kisah nyata juga loh dan tahu tidak? Rasanya lega bisa menuntaskan satu tulisan tentang jodoh.
Ada yang tersenyum dengan tulisan ini, atau ada yang tidak setuju? Atau ada yang mau dijodohkan sama Om Tian? #ehh. Sabar, orangnya juga lagi proses perbaikan untuk mendapatkan yang terbaik.

Untuk semua yang dalam penantian selamat menikmati masa perbaikan diri, jangan lupa mintalah dengan serius kepada pemilik napas kita, sampaikan dengan sejelas-jelasnya jodoh yang diminta, kalau perlu digambar, atau bawa fotonya saat berdoa, sambil nunjuk; jodohkan aku dengan yang ini ya Allah, yang ini.. hikz!! Uhuy..

Semoga segera dipertemukan dengan jodoh yang terbaik. Aamiin.

Surabaya, 28 Juni 2015
Teruntuk Cinta-cintaku tercinta..

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day28

Bersambung..

Aku Cemburu #Day27

Hari ini, Ramadhan memasuki hari kesepuluh. Aku iri pada mereka, iya mereka yang bisa merasakan nikmatnya berlapar-lapar di siang hari, meraup berkah dengan mudah lewat makan sahur. Atau merasakan leganya minum segelas air putih saat azan maghrib tiba.

Ramadhan tahun ini, sampai hari kesepuluh aku masih berbaring di tempat tidur, di kamarku; di ruang berAC, di saat mereka yang berpuasa barangkali menikmati terik matahari. Di kamar ini ada susu sapi, dan minuman yang siap aku teguk kapan saja saat azan zuhur, ashar ataupun tanpa mendengar azan aku boleh minum sepuasnya. Ada kue-kue, buah-buahan yang siap aku lahap kapan saja. Kalau aku lapar aku tinggal bilang; "maem" perawat-perawatku siap mengantar makanan tanpa menunggu azan maghrib.

Di saat semua sibuk makan sahur aku masih sibuk mengurai mimpi di balik selimut tebalku. Perawat-perawat tercintaku itu tidak tega membangunkanku kecuali jika aku mau bangun sendiri. Jika bangun pun aku melahap kue-kue yang ada tanpa menghiraukan sudah imsyak apalagi azan shubuh.
Saat sholat tiba, kami berjamaah di musholah rumah. Sholat sambil duduk, ruku dan sujud dalam isyarat, lama sebentar sudah kurasakan clekit-clekit di bagian bekas sayatan operasi. Jadilah berdoaku cuma sebentar saja.

Jujur aku cemburu dengan mereka yang begitu khusyuknya bertadarus, sementara aku khusyuk dengan ponselku. Aku cemburu dengan mereka yang bisa melakukan tarawih dengan tuma'ninah sementara dalam masa pemulihan ini kondisiku tidak jauh berbeda saat HNP masih bersamaku.

Ramadhan di sepuluh hari pertama ini belum kurasakan perbedaan nyata seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Kalau dulu kehadirannya benar-benar kunantikan, persiapan fisik dan segalanya harus benar-benar tertata rapi, apalagi saat Naufa balita program Ramadhan for Kid untuknya sudah disiapkan sebelum Ramadhan tiba, membelajarinya berpuasa sejak pukul sembilan pagi hingga dia dewasa bisa menunaikan puasa penuh sampai maghrib, mengajaknya gemar berinfak, sampai menyiapkan papan prestasi dan reward untuknya, semuanya mulus terkonsep dan tercapai.

Menyambut Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya seperti menyambut hadirnya kekasih hati. Saat menetapkan satu Ramadhan pun tak kalah hebohnya browsing sana-sini, menunggu sms dari musyrifahku apakah sudah mendapat kabar hilal telah terlihat atau justru ada penggenapan Sya'ban karena bulan tertutup mendung, peristiwa-peristiwa itu dari tahun ke tahun kunikmati dengan indah, dan subhanallah tahun ini benar-benar berbeda.

Tanggal dua puluh sembilan Sya'ban aku memulai opname di rumah sakit, praktis pikiranku tercurah pada masa pra operasi. Sampai akhirnya aku menjalani operasi dan di masa pemulihan aku masih belum berani berpuasa.
Ramadhan tahun lalu bersama teman-teman halqah melakukan sebar takjil dari rumah ke rumah. Ramadhan tahun ini hanya bisa menyupport kegiatan mereka dari jauh. Sejujurnya aku sangat kangen suasana halqah, tapi kadang ketakutanku muncul. Aku belum bisa duduk di lantai, kalaupun duduk di kursi aku belum bisa berlama-lama, tidak sampai sepuluh menit lukaku sudah menjerit galau.

Wajar tidak kalau aku rindu suasana Ramadhan yang dulu? Ramadhan yang benar-benar nyangkut di hati. Ramadhan yang tak kulewati sedikit pun dengan menarik simpati Penggenggam napasku, Ramadhan yang aktif dengan membina kajian adik-adik remaja, melingkar bersama ibu-ibu yang ingin mendengar sedikit kebaikan dari lisanku. Wajar tidak jika aku cemburu pada teman-teman mahaliku yang sibuk meriayah ummat dengan begitu antusiasnya? Wajar tidak jika aku harus galau saat tak kutemukan kehangatan Ramadhan seperti biasanya? Ah, ke mana Ramadhanku yang dulu?

Kalau aku bertanya pada keluargaku tentang aktivitas yang seperti dulu, semua serempak menjawab; aku harus sembuh dulu. Saat aku bercermin dan bertanya pada nuraniku, ada senyum menyeringai. Jika ada galau saat tak kulakukan kebaikan itu tandanya jiwaku sedang sehat. Ini jawaban indah untuk menentramkan pikiranku. Semoga hanya raga ini yang sedang perlu penyembuhan ya Rabbku. Maka mesrakan ia saat sedang membasahkan bibir dalam zikir saat berkhalwat denganMu..

Surabaya, 27 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day27

Bersambung..

Seperti "Hujan Bulan Juni"nya Sapardi #Day26

Mana bisa kulupakan Juni?, bulan di mana diangkatnya HNPku oleh Allah melalui tangan-tangan tim dokter di ruang operasi.
Jadi teringat saat sehari pra operasi, saat visit ke kamarku dokter Zaky menyampaikan kalau dokter hanyalah kepanjangan tangan Allah, sementara sang penyembuh satu-satunya hanyalah Allah. Dokter Zaky meyakinkan aku akan diberi sembuh oleh Allah.

Bagiku, Allah memang maha keren, Allahlah yang memilihkan bulan istimewa untukku; 30 Syaban yang bertepatan dengan 17 Juni 2015 menjadi awal sebuah anugrah untuk hidupku, yaitu proses dicabutnya nyeri dengan dibebaskannya saraf terjepitku.

Tak berlebihan jika kelak di sepanjang hidupku bulan Juni akan menyimpan kenangan abadi, seperti abadinya sajak Sapardi tentang Juni yang bertajuk; Hujan Bulan Juni. Sajak itu aku banget. Hujan bisa mewakili sebuah keberkahan yang diturunkan Allah. Dan benarlah Allah menurunkan keberkahan itu di bulan Juni, sebab di bulan inilah Allah membuka simpul pikiranku yang dahulu sempat tumpul akibat phoby di meja operasi. Allah turunkan malaikat-malaikat yang menjelma keluargaku, sahabatku, walimuridku yang senantiasa memberi semangat luar biasa hingga aku berani memutuskan menjalani operasi pembebasan saraf tulang belakangku.

Kali ini, kuulang sajak Sapardi Djoko Damono dalam berbaringku; Hujan Bulan Juni. Sajak sederhana itu sarat makna. Kukenal nama penyair itu sejak aku masih duduk di bangku SMA, dalam setiap kompetisi baca puisi aku suka membacakan karya Beliau.
Dan bulan ini aku membacakan puisi itu dalam sebuah musikalisasi, di kamar ini. Puisi itu menemaniku menabahkan diri menahan sisa-sisa nyeri luka bekas sayatan pisau operasi di kulit punggungku.

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu
di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Hujan Bulan Juni, SDD-1989)

Di kamarku, Ditemani Hujan Bulan Juni-nya Sapardi.

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day26

Bersambung..

Kamis, 25 Juni 2015

Menyehatlah Diri #Day25

Dini hari di kamarku, aku masih terduduk di atas kursi dengan balutan mukenah tanpa sajadah. Sejujurnya aku rindu memesrakan kening ini dalam sujud panjang di atas sajadah. Tapi fisikku masih belum mampu melakukan itu. Sholat masih kulakukan diatas kursi, ruku dan sujud dalam isyarat.  Rukhsoh yang aku dapat dari Allah di Ramadhan tahun ini.

Usai selesaikan salam dalam witirku, aroma wangi masakan ibu menyusup masuk kamar, benar-benar mengundangku untuk segera berburu makanan di dapur. Cihuy, aku ikut sahur ya Mam, kataku. Ibuku yang cantik itu hanya menjawab dengan senyum.

Ramadhan sudah memasuki hari kedelapan, dan aku belum ikut puasa sama sekali. Di hari ketujuh aku pernah mencoba untuk ikut berpuasa diam-diam. Di tengah perjalanan Naufa dan Ibu sudah menanyakan apakah aku sudah minum obat atau belum. Aku sudah minum obat saat sahur pagi. Tapi siang itu lukaku terasa nyeri sekali, waktunya minum obat nyeri. Ibu mengupaskan mangga manalagi yang diambil dari pohon depan rumah. Ayo dimakan, kata ibu. Minum obat sebab nyeri bekas operasi ini yang membuatku segera membatalkan puasa, dengan mencicipi mangga yang dikupas ibu, subhanallah manisnya.

Hari ini, hari kedelapan pasca operasi. Rombongan tamu masih saja mengalir untuk membesukku. Siang ini atasan papa, para ibu petinggi di kantor. Semua yang membesukku pasti akan berkomentar kok tiba-tiba operasi, dari pertanyaan itu aku harus cerita dari awal. Untungnya setiap kali ada yang menanyakan papa selalu bilang, itu jawabannya lengkap kutulis di blog pribadiku.

Perihal tulisan-tulisanku itu, pra operasi aku tidak pernah memberitahu tentang ocehanku di blog pribadi pada keluargaku, bahkan mereka tak menyangka aku sempat menuliskannya lengkap segala suka dukaku berpacaran dengan HNP. Pasca operasi kukirimkan link tulisanku pada mereka. Aku melihat air mata papa menetes setiap kali menggeser layar android. Lelaki yang kucintai itu tak dapat menyembunyikan rasa, entah sedih terharu atau bahagia, aku tidak paham. Yang kupahami papa selalu mencium keningku dan menitipkan doa; sembuh ya sayang. Kalau sudah begitu aku bandel, seperti anak Taman Kanak-kanak, menarik lengan papa dan mencegahnya beranjak dari sisiku.

Hari ini tak seperti biasanya, badanku meriang. Panas kurasakan seperti saat aku belum menjalani operasi. Bingung? Iya. Luka operasi terasa nyeri, tapi nyeri ini tiba-tiba teralihkan dengan kabar dari admin sekolahku kalau surat izin perpanjangan lembaga sudah kelar. Surat itu sudah kusiapkan sebelum ada panggilan operasi, tapi ternyata masih perlu ini dan itu, perlu tanda tangan papa sebagai ketua yayasan dan aku sebagai leader lembaga. Admin sekolahku masih bisa mengejar tanda tangan papa, tapi tanda tanganku? Pandai-pandainya partner guruku mengatasi masalah itu.
Alhamdulillah, bagiku mereka luar biasa. Satu masalah sudah teratasi. Tapi sore ini, aku meringkuk di dalam selimut di kamarku. Pendingin kamar hidup sempurna. Tak biasanya nyeri manja kembali di tubuhku. Untuk meredakan nyeri mungkin sore ini saatnya aku menyantap kuah ikan gabus yang dimasak Naufa dan Om Tian pagi tadi. Kuharap ini sementara..
Menyehatlah diri, ragamu telah ditunggu banyak makhluk di sana..

Di kamarku, 25 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day25

Bersambung..

Rabu, 24 Juni 2015

Bukan PHP, Selamat Tinggal HNP.. #Day24

Dokter Zaky membuat janji pukul 11 siang bertemu dengan pasiennya, sebab pagi Beliau ada jadwal operasi. Kulirik jam dinding, waktu belum menunjukkan pukul sebelas, tapi sudah ada beberapa pasien dipanggil masuk. Pertama nenek-nenek yang memakai kursi roda yang entah sakit apa. Pasien kedua kakek-kakek berkopyah memakai kursi roda juga, pasien yang ini menderita pusing sepanjang hari, baru saja dioperasi karena ada  cairan di kepalanya. Pasien ketiga seorang bapak-bapak, yang usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari papa. Bapak ini dari tadi kulihat berdiri terus tidak mau duduk. Kalau tidak berdiri selalu mondar-mandir berjalan keluar masuk ruang tunggu. Ternyata kasus bapak ini sama persis sepertiku; pasien pasca operasi saraf tulang belakang. Kami sempat sharing tentang pengalaman rawat inap dan operasi yang kami jalani. Aku menjalani operasi hari Rabu, bapak itu hari Kamis. Tapi bapak itu sudah berjalan seperti tidak pernah melakukan operasi. Subhanallah, sebenarnya aku juga bisa seperti itu, tapi tanpa duduk. Sebab setelah duduk, ketika berdiri seperti ada benda yang mencengkeram pinggang kami. Sebab itulah bapak itu memilih mondar-mandir, sedangkan aku malah memilih duduk cantik di atas kursi roda. Bapak itu dilakukan pengangkatan saraf terjepit di posisi L2, sementara aku di posisi L1. Posisiku memang tempat strategis ; pinggang paling bawah di atas tulang ekor, mungkin begitu. Jadi lumayan nyeri jika dipaksa untuk berjalan setelah duduk.
Saat namaku dipanggil, aku ditemani Naufa dan Papa masuk ruangan dokter Zaky. Bertemu dengan dokterku itu seperti bertemu dengan artis Maher Zein, wajahnya kearab-araban, ganteng dan menyenangkan. Pertama kali  memasuki ruangan beliau yang dibahas adalah cara berjalanku yang katanya seperti pengantin, hahaa.
Dokter Zaky menanyakan perkembanganku, apakah masih ada rasa nyeri seperti sebelum operasi. Aku jawab mantab tidak ada. Subhanallah, sakit yang kupelihara selama 5 tahun bisa hilang dengan menjalani tiga jam pengangkatan lewat operasi. Kulit yang dibedah pun tak sampai sepuluh centi meter hanya seperti goresan kecil. Di sanalah aku melihat hasil foto saat operasi yang dibawa papa, sebelumnya aku belum pernah melihat foto itu. Aku bilang pada dokter Zaky kalau peristiwa operasi yang kujalani itu ajaib, bisa menghilangkan sakit selama lima tahunku. Kata dokter Zaky malah sulapan, dan tidak pernah masuk akal jika dipikir secara nalar. Begitullah kuasa Allah, begitu mudahnya mengangkat penyakit seperti mudahnya Dia memberikan penyakit itu pada seseorang.

Selanjutnya aku berbaring di tempat tidur pasien. Ketakutan luar biasa bersarang di pikiranku. Lampu menyala menyinari pinggangku yang masih penuh balutan perban. Tanganku memegang tangan papa, takut luar biasa. Eh dokter Zaky malah menyuruh mas perawat mengambil celurit, haha. Suasana memang membuatku kalut, balutan perban dilepas dan diganti. Dokter bilang lukaku bagus sudah kering. Naufa sibuk mengabadikan peristiwa itu, jepret sana-sini mirip paparazy. Setelah diberi obat luka perban diganti, lukaku ditutup kembali. Cuma begitu? Iya, begitu saja tegang luar biasa, hahaa.

Dalam perjalanan pulang aku merasakan ada yang beda saat dudukku. Aku duduk di kursi depan samping papa, tanpa alas duduk yang bertahun-tahun kupakai sebagai penyangga setiap naik mobil. Hanya ada bantal kursi yang kupakai bersandar. Mataku berkaca-kaca. Inilah kenyataan yang dulu pernah kuimpikan; duduk di dalam mobil tanpa harus bermesraan dengan nyeri HNP. Dulu aku pernah berpikir bahwa duduk tanpa nyeri akan bisa kurasakan kelak di surga, ternyata Allah memberi hadiah itu di dunia. Aku sembuh, dan resmi bercerai dengan nyeriku.
Ini benar-benar nyata, bukan PHP. Selamat tinggal HNP.
Allahu Akbar.

Surabaya, 24 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day24

Bersambung..