Jumat, 12 Juni 2015

Tentang Kehilangan #Day13

Ketika semua orang merasa sedih sebab kehilangan, barangkali kelak aku akan merasa bahagia karena kehilangan. Kehilangan rasa yang pernah kunobatkan sebagai kekasih; nyeri. Kehilangan hernia nucleus pulposus yang sekian lama bersamaku.

Lain HNPku lain lagi kisah memilukan seorang sahabatku tentang kehilangan. Mungkin alay jika aku bahas di sini. Tapi ini sebuah pelajaran mahal yang semua orang harus tahu.

Berawal dari datangnya sales panci serba guna, mereka menawarkan sebuah acara makan-makan khusus guru. Mereka memasak sendiri makanan itu di hadapan kami. Dari nasi, krawu, bandeng, pop corn, terang bulan dan martabak dalam waktu beberapa menit saja dengan satu panci. Luar biasa kan?, melihat seperti itu kami berdua membelinya, dengan pembayaran cash.
Setelah panci dikirim, satu panci aku bawa pulang, dan satu lagi masih di sekolah. Panci itu milik sahabatku, Riri.

Haripun berganti, sampai tiba pada hari di mana Riri akan mengambil panci itu untuk dibawa pulang ke desa. Semua gudang dibongkar, hasilnya nihil. Semua penghuni sekolah ditanya tidak ada yang tahu. Ternyata eh ternyata panci itu sudah berpindah tangan, entah kepada siapa, yang jelas orang asing yang mengaku sebagai sales dari produk itu dengan alasan pancinya ada kerusakan mau diganti dengan yang baru, pastinya yang memberikan panci itu bukan aku atau Riri sebagai pembeli, tapi orang lain yang tidak tahu menahu soal transaksi kami. Kesimpulannya; panci itu hilang.

Sedih? Iya. Siapa sih yang tidak bersedih karena barang hilang. Meski cuma sebuah panci yang secara harganya berkali-kali lipat dari panci biasa. Untuk melegakan hati, sahabatku itu mengatakan belum rejekinya. Iya banget, bagi penipu mereka hanya mendapatkan barang itu, tapi Riri aku yakin ia akan dapatkan rejeki yang lebih. Untuk ikhlas dalam kondisi seperti dia bagiku prestasi luar biasa.
Dari peristiwa ini banyak pelajaran yang bisa kita petik, diantaranya; untuk tidak mudah percaya dengan orang asing. Siapapun dia. 

Kehilangan?, satu kata itu menghantam ragaku. Saat ini, barangkali aku telah kehilangan masa sehatku, saat menggoreskan tulisan ini saraf-sarafku seperti bernyanyi riang, hal yang sangat biasa saat begini suhu tubuh meninggi, dan nyeri sekali. Barangkali jika boleh meminta, aku tak ingin merasa kehilangan jika suatu saat suasana seperti ini tak lagi hadir dalam hidupku. Sebab sudah kulayangkan dengan jelas pada alamat nyeriku, bahwa aku ingin mengusirnya.

Kisah sebuah panci milik sahabatku dan perihal kehilangan. Melahirkan sebuah catatan kecil berisi penegasan bahwa tidak ada yang kekal di genggaman kita dan sejatinya saat kita kehilangan, kita tak benar-benar kehilangan sebab sejujurnya kita tak pernah memiliki apa-apa..

Surabaya, 13 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day13

Bersambung..

Kantong Sabar #Day12

Juni, lembar ke dua belas. Menikmati DVD pentas seni, geli campur malu. Ada aku dan teman-teman menari kipas, dan itu terjadi dua minggu lalu. Dua hari sebelum MRI berlangsung, saat aku kekeh dengan keegoisan diri; takut disebut pesakit, takut terlihat lemah, takut hernia nucleus pulposusku diketahui dunia. Saat aku menutupi segala nyeri yang kerap singgah.

Aku menari, mengajar tari, menjadi MC, mendongeng, memimpin rapat, mengikuti rapat dalam keadaan mesra dengan nyeri. Aktivitas yang menggunung itu sebagian memang caraku mengelabuhi diri. Sebab dengan beraktivitas segala nyeri seperti pergi.

Hari ini penutupan tahun ajaran di sekolah. Beberapa hari lalu aku mengira tak sempat mengikuti acara akhir ini. Sebab perkiraanku jadwal operasi datang di minggu ini, ternyata tidak. Aku kira sebelumnya operasi bisa dilakukan setiap saat, ternyata tidak. Aku baru tahu bahwa perlu antre dengan pasien lain. Antre operasi dan antre kamar.

Kata orang, menunggu adalah hal yang menjemukan. Saat ini posisiku adalah sebagai pasien yang menunggu antrean. Bagiku ini bukan hal yang menjemukan, justru dalam masa menunggu ini aku bisa menyiapkan sesuatu hal. Setiap nyeri itu datang, cepat-cepat kubawa pikiranku menuju aktivitas yang bisa mengalihkan. Oouuh, aku teringat alpentin, obat nyeri yang diresepkan untuk nyeriku. Tubuhku mungkin tak butuh benda kecil itu. Saat mengonsumsinya nyeri masih saja memeluk erat saraf-sarafku. Kalah dengan sakit yang ada, hingga kuputuskan bahwa aku tak membutuhkannya.

Menunggu antrean sambil menahan rasa nyeri itu sangat indah, setiap tangan yang meraihku mendoakan dan bumbu yang sama adalah kata; sabar. Benarlah, aku butuh kantong yang besar untuk menyimpan sabar. Sabar itu subur, dan yang merasa subur harus sabar. Hee..
Mudahkan ya Rabb.

Surabayaku, 12 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day12

Bersambung..

Kamis, 11 Juni 2015

Sugesti #Day11

Di depanku ada dua buah penyangga untuk berjalan. Apakah aku membutuhkannya?. Jika benda itu aku bawa ke sekolah, tak terbayangkan bagaimana riuhnya komentar anak didikku. Hihi pada akhirnya aku tertawa sendiri. Masa iya aku memakainya? ^^

Sebelumnya tak pernah ada dalam bayangan kalau aku akan mengalami hal ini; kesakitan saat berjalan. Sehingga jalanku harus perlahan dan sangat pelan. Why? Jadi teringat saat dokter Faris bertanya; sakitnya seperti apa mbak?, kujawab; seperti ada benda tajam masuk di badan dok. Menjalar sampai kaki?, kujawab mantab; iya.
Sakit itu akan semakin terasa saat berjalan. Ah, manja banget sih? Kemaren-kemaren mah enggak. Ini mengapa saat ketahuan sakit jadi seperti ini?. Sejak mendengar hasil MRI, hidup ini jadi berubah drastis. Yang awalnya jadi manusia yang cueknya super duper, aktivitas tinggi, loncat sana sini, sekarang berubah jadi sosok ringkih, lebih tepatnya seperti gombal tercelup air, nglemprek.

Kalau sakit ini karena sugesti, mungkin tidak tepat. Sama seperti tidak tepatnya aku saat menyugesti diri bahwa aku sehat. Aku terlalu sok mengatakan bahwa aku sehat. Padahal sejujurnya aku tahu bahwa aku sedang sakit.
Ini pelajaran buat yang lain bahwa tak baik meremehkan kesehatan. Kalau ditanya apakah dulu merasakan sakit? Iya. Tapi kok dulu bisa lari-lari? Iya bisa karena fokusku bukan ke sakit. Di kepalaku saat itu bahwa sakit adalah karena pikiran kita, mungkin ada benarnya hingga aku bisa bertahan sampai lima tahun. Tapi sakit seperti ini, berhubungan dengan fisik bagian dalam dan gerak tubuh kita, semakin dipiara semakin parahlah dia.

Sekarang, jika tak kuat lagi menahan sakit, aku terpaksa merangkak. Mungkinkah ini yang dimaksud beberapa artikel tentang HNP yang jika parah akan menyebabkan kelumpuhan. Mungkin benar, tapi itu tidak untukku. Jadi bagaimana? Apakah aku butuh alat penyangga itu?. Butuh atau tidak, pada akhirnya berangkat pagi tadi satu penyangga ikut masuk ke dalam mobil. Biyuuh, membayangkan aku memakai alat itu? Halah.. aku sehat kok, keadaan seperti ini cuma sementara. Sebentar lagi nyeriku pergi dan aku berjalan tegak lagi. Hee..

Surabaya, 11 Juni  2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day11

Bersambung..

Selasa, 09 Juni 2015

Sebutir Alpentin #Day10

Lembar kesepuluh di bulan Juni. Tulisanku akan berkisah tentang bahagia, tentang aku dan mimpi-mimpi indahku. Mimpi yang baru saja aku tanam. Kubiarkan kuncupnya mekar, kelak ia pasti rimbun di hidupku dan kupanen wanginya dalam nyata.

Semalam, ada hal baru yang tercatat dalam sejarah hidupku. Untuk pertama kalinya aku berani minum obat nyeri. Pada pertemuanku dengan dokter Zaky, aku pernah akan dibuatkan resep, selalu saja aku tidak mau. Bukan apa-apa, aku takut ketergantungan. Saat melihat kondisiku, dokter Zaky berpesan kalau obat bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk mengurangi sakit yang ada, dan kulihat dokter Faris di samping dokter Zaky meresepkan obat.

Di rumah sakit saat itu, aku diminta untuk foto torax sebagai persiapan operasi. Kalau di rumah sakit sebelumnya, kala menunggu saat-saat operasi pasien dipondokkan dulu selama berhari-hari, benar-benar seperti orang sakit. Termasuk aku, dua tahun lalu aku sempat mondok sepuluh hari di rumah sakit untuk persiapan, meskipun akhirnya tidak jadi operasi hehee.
Usai foto kami menunggu hasil dengan memesan makanan di cafe rumah sakit. Saat pertama kali berkenalan dengan rumah sakit ini, ada yang menggelitik di hatiku. Kutemukan sebuah rumah sakit yang justru mirip mall. Ruang-ruangnya cantik, ruang tunggunya berderet seperti toko-toko di mall, ruangan tunggu pasien yang bersih dan ber AC dan satu lagi free wifi. Di tempat periksa anak-anak, penuh dengan lukisan lucu dan alat permainan out door, yang ini mirip taman kanak-kanak. Hal yang menggelitik lagi, di rumah sakit ini ada mini market dan sebuah cafe dengan tatanan apik. Suka! Semoga tak salah pilih, kataku saat itu.
Pindah dokter dan pindah rumah sakit? Hal yang awalnya konyol di kepalaku. Dulu sebelum memutuskan ini, sempat terjadi perang di hatiku. Saat bbm mantan walimuridku yang cantik itu; bunda Richo menyapa, menanyakan perihal HNPku, karena sibuk yang menggunung baru besoknya kubalas sapaan itu. Saat yang sama aku asyik dengan makanan kolang-kaling yang katanya bisa mengobati nyeri hernia nucleus pulposusku. Beliau bercerita bahwa suaminya mengalami sakit yang sama sepertiku. Aku kaget, ah sok gaya kuberi resep tentang makanan yang perlu dikonsumsi penderita HNP. Bunda Richo malah memberitahu kalau suaminya sudah dioperasi. Saat itu juga darahku berdesir hebat. Duh, bertemu dengan kata operasi lagi. Tidak! Aku tak ingin lagi berurusan dengan medis. Cukup sudah upayaku untuk penyakit ini. Lima tahun sudah, segala cara sudah aku lakukan. Dari mengkonsumsi sari mengkudu yang dibelikan papa dengan harga yang lumayan, terapi listrik dengan magnet-magnet, batu giok , terapi sari kacang hijau, pijat refleksi, tusuk jarum akupuntur, pijat totok, terapi yumeho, injeksi vitamin B, terakhir ini kolang-kaling. Terus apalagi ya, banyak. Segala cara aku tempuh, belum kutemukan hasil pasti karena aku tidak telaten. Aku mudah bosan dengan sesuatu yang monoton.
Bunda Richo memberi penjelasan dalam bbmnya itu seperti dokter bedah saraf, membuka kekakuanku. Kata-kata beliau begitu mengena di hatiku. Aku dibutuhkan orang banyak, aku harus sembuh, karena itu perlu meluangkan sedikit waktu untuk mendapatkan sembuh yang banyak. Aku masih juga kaku, aku tak mau dioperasi. Tapi kata bunda Richo; periksakan saja dulu ustazah, semakin cepat memutuskan semakin baik. Kalau ustazah parah, siapa yang mengurusi sekolah? Kata-kata itu bak motivator Mario Teguh, membuatku luluh dan bismillah, aku berjanji pada diriku bahwa aku pasti sembuh, jalan sembuh sudah Allah tunjukkan lewat mutiara yang keluar dari tulisan-tulisan chat bunda Richo kepadaku. Terima kasih ya Allah, terima kasih bunda Richo yang mampu menguraikan pikiran bundelku yang kaku.

Tapi eh, aku manusia kaku. Haha, iyakah? Untuk urusan memutuskan hal yang berkenaan dengan kesehatanku perlu perang batin yang panjang, seperti semalam; untuk menelan sebutir Alpentin di tanganku aku pun perlu berpikir berjuta kali, antara diminum atau tidak. Sementara berjalanku sudah semakin tak seimbang, menahan nyeri. Obat kecil itu susah didapat, beberapa apotek tidak ada. Ternyata papa mendapatkannya justru di apotek dekat tempat tinggal kami yang pinggiran kota. Minum?, tidak?, ah masa untuk urusan minum obat perlu diistikhoroi dulu haha.
Akhirnya, kubuka lebar pintu itu; "Alpentin, selamat datang di hidupku"

Pagi indah di homestayku, 10 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day10

Bersambung..

Di bawah Langit Surabaya #Day9

Ini perjalanan pulang kami dari rumah sakit. Sore yang eksotik, dengan langit Surabaya yang anggun. Di atas tol, dari dalam mobil kuamati keindahannya menghampar dasyat. Maha suci Engkau ya Allah, pelukis keindahan ini.
Di sampingku, driver tercintaku; Papa, tiba-tiba nyletuk. Sampai saat ini Papa penasaran dengan misteri langit. Langit itu apa ya?, kalau bumi, mars sudah pasti bentuknya, tapi langit itu apa?
Aku tertawa, aku malah tidak paham hal itu. Yang aku mengerti, langit banyak memberikan inspirasi untuk puisi-puisiku.

Alam yang menghampar ini demikian tunduknya pada kuasaMu ya Allah. Mereka bertasbih sepanjang siang dan malam. Taat berjalan pada jalurnya masing-masing. Tak ada iri antara satu dengan yang lain.
Semasa kecil dulu, sebelum bercita-cita menjadi guru, cita-citaku adalah menjadi seorang astronot. Aku penasaran bagaimana rasanya berada di ruang angkasa. Jika sampai di sana mungkin aku akan teriak sekeras-kerasnya.
Ingat ruang angkasa teringatlah aku pada nyeri ini. Pernah suatu hari tanpa sadar air mataku meleleh karena begitu ribetnya menata tubuh, berbaring terlentang terasa sakit, menghadap kanan sakit, menghadap kiri juga sakit, telungkup apalagi lebih sakit. Ampun, aku angkat badanku terasa berat. Sampai pikiranku nakal sekali, jika tak ada gaya gravitasi barangkali tak perlu kurasakan beban yang berat ini dan yang tak ada gaya gravitasinya adalah ruang angkasa. Aha, manisnya memulang kenangan mengecup ingin di secawan masa kecilku.

Masa kecil? Sungguh indah masa itu, masa di mana tak ada beban hukum pada kita. Jika saja diwafatkan di usia itu, tanpa hisab pasti masuk surga. Dulu saat aku kecil begitu siapnya melangkahkan kaki menuju surga, siap mati di usia muda. Kemudian dulu jika ada yang menanyakan tentang cita-citaku, kujawab; ingin masuk surga. Simpel banget.
Menjadi dewasa dan sudah setua ini, segala yang kita lakukan tak luput dari pertanggung jawaban. Jika membincang surga, berapa banyak kita yang katanya rindu surga, tapi tanpa ada upaya meraihnya. Saat kesempatan meraih tiket surga diberikan lewat sakit, berapa banyak kita yang tidak terima, sering melalaikannya, bahkan tidak melakukan ikhtiar apapun.
Aku?, pernah dulu. Dan ini nasihat indah untukku.

Hari ini tulisanku benar-benar random, lewat random ini kutemukan bagaimana cara bersenang-senang dengan kata sambil memandang langit Surabaya. Lalu aku titipkan segala doa-doa. Kuundang teman-teman tercinta untuk meninggikan harap, peluk rapuhku dengan doamu kawan, raga ringkih ini masih memiliki semangat tangguh untuk sembuh. Siapapun engkau di sana langitkan doa segera, agar aku bisa mengintipnya, sebab jauh bukan masalah karena sesungguhnya langit kita sama..

Di bawah langit Surabaya, 9 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015

Bersambung..

Senin, 08 Juni 2015

Merdekakan Sarafku #Day8

Selain dokter Zaky, dokter bedah saraf yang menanganiku bernama dokter Faris. Hari ini dokter Faris menunjukkan sebuah film di layar komputer, gambaran dari hernia nucleus pulposus yang aku pelihara selama lima tahun ini di tubuhku. 
Merinding rasanya; dua tulang yang telah rusak menjepit bantalan dan menekan saraf-saraf di sekitarnya. Allahu Rabbi. Dari penjelasan itu aku semakin tak dapat berkutik. Semakin tak sempurnanya diri ini. Pantaskah kukenakan kesombongan?, sesungguhnya sombong itu hanyalah pakaianMu ya Rabb.

Siang itu dokter Faris tidak sendiri, ada dokter Zaky dan dua orang perawat di sana, dan aku masih seperti biasanya ditemani Papa yang setia menjaga dan mencintaiku.

Saat slide-slide film diputar, berkali-kali aku permisi karena aku tidak duduk di kursi pasien, kudengar penjelasan dokter dengan berdiri, sebab nyeri begitu manjanya meminta perhatianku jika aku duduk. Seperti yang kurasakan seharian ini di Rumah Sakit, saat duduk, nyeri datang tanpa ampun, dan tak ada yang bisa kulakukan selain istighfar dan mengusap air mata.

Masih dalam penjelasan dokter Faris, gambaran bantalan yang normal ialah berada pada posisinya, sehingga saraf-saraf di sekitarnya tidak terjepit. Bantalan tulangku tepatnya di L1 bentuknya sudah tidak simetris sehingga saraf-saraf di sekitarnya terjepit.
Penjelasan dokter Faris memberi pelajaran buat kami, demikian sempurnanya penciptaanMu ya Allah. Ada sedikit yang mencoba error dari jalurnya saja menyebabkan tidak seimbangnya seluruh organ tubuh, ini terbukti saat nyeri menyebar kemana-mana. Barangkali nyeri yang ada adalah akibat dari terjepitnya saraf-saraf tersebut. Tugas dokter bedah saraf adalah memerdekakan saraf-saraf itu agar tidak terjepit lagi, dan jalan satu-satunya adalah dengan operasi. Dokter menanyakan kesiapanku. Aku pun menjawab dengan pengharapan agar Allah segera mengangkat penyakitku melalui tindakan apapun. Deal, rencana operasi pun ditanda tangani oleh dokter Zaky.

Lagi, Jika ditanya apakah aku siap operasi? Sangat siap! Rasanya sudah tak sabar menunggu hari bahagia itu, saat tim dokter membebaskan saraf-sarafku dari pasung yang menjepitnya.

Tolong segera merdekakan sarafku Dok, sebab aku yakin Allah akan mengangkat sakitku lewat tanganmu.
Mudahkan ya Allah..

Kota Kelahiranku, 8 Juni 2015

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day8

Bersambung..

Minggu, 07 Juni 2015

Deadline.. #Day7

Hari ketujuh,
aku tak ingin menulis kesedihan. Di meja takdir ini Allah menjamu hidupku dengan hidangan yang lezat dan nikmat. Sungguh tak bersyukurnya aku jika tulisan-tulisanku hanya berisi keluhan.

Hari ini akan kuperkenalkan temanku, namanya deadline. Deadline? Who? Deadline is time limit: the time by which something must be done or completed. Wow..!!
Dalam bahasa Indonesia artinya batas waktu, waktu di mana sesuatu pekerjaan harus dilakukan atau diselesaikan.

Pagi tadi deadline menjengukku tiba-tiba. Aku kaget bukan main, lihat kalender sudah tanggal tujuh. Kubaca tugasku satu persatu. Hiks.. hari ini di schedul-ku adalah deadline laporan akhir semester, deadline program kerja, ini dan itu. Kulirik laptopku, ya Rabb benda itu, kalau aku mendekat padanya tanpa diminta sudah pasti kekasihku menghampiri. Kekasih? Iya, nyeri. Padahal hari ini aku tak ingin membahasnya lagi.

Bismillah untuk yang mulia deadline, aku mulai hidupkan laptop lawasku. Masih cantik, dulu dialah yang paling setia mengawalku saat kuliah. Saat pundakku masih kuat menggendong benda seberat itu. Dulu masih belum ada gadget-gadget canggih dan simpel seperti hari ini, kuliah saja yang membawa laptop bisa dihitung dengan jari. Itupun laptopnya besar dan sangat berat hihi. Dulu dia yang setia padaku, sekarang akulah yang setia padanya, dari laptop pribadi yang kumiliki cuma dialah yang paling sering aku ajak berembug tentang program sekolah. Kalau laptop lain tugasnya untuk mengembangkan talentaku.

Kunyalakan pelan-pelan laptopku. Belum genap lima menit, pinggang sebelah kiri serasa disayat benda tajam yang sakitnya masya Allah. Nyeri itu bersambung menuju kaki. Ampun, Allah tak sedang bercanda denganku. Setiap kali duduk nyatanya itu yang muncul. Kuhela napas panjang. Ingat deadline, deadline, deadline. Lawan! Kupaksakan diri menahan nyeri dengan berbaring. Sekian tahun aku bisa melakukannya, mengerjakan tugas-tugasku dengan berbaring. Alhamdulillah sebagian selesai.

Duh, deadline. Mengapa kutetapkan deadline lebih awal?, sejak aku fokus dengan nyeri ini semuanya seperti berlari. Sama seperti ketika aku menugaskan sesuatu pada teman-teman. Mereka sangat paham mengapa harus dikerjakan lebih awal. Rupanya kami semua menjadi kumpulan manusia yang sedang siaga. Pengalaman dua tahun lalu, saat pembacaan hasil MRI oleh dokter sarafku, aku sudah tidak boleh pulang ke rumah. Hari itu juga check in dengan status; pasien pro operasi di sebuah rumah sakit.
Berguru dari yang sudah-sudah, teman-teman pun bahu membahu menyelesaikan tugas lebih awal hingga deadline begitu dekat. Jika nanti kutinggal beberapa hari semuanya sudah siap.

Hari ini, aku mendapat pelajaran dari sebuah deadline. Deadline menjelma monster yang mengejar kami untuk menyegerakan sesuatu karena ada batas waktu.
Andai masing-masing kita menyadari bahwa setiap waktu berlari, kematian menghampiri. Sayangnya Allah tak pernah membocorkan kapan kita mati. Sebab itu semestinya masing-masing kita menetapkan setiap detik menjadi deadline mencari bekal mati. Sebab kematian tak pernah menunggu kita siap atau tidak.
Lalu mampukah kusiapkan lebih awal segala bekal mati, sebelum Izrail berhadapan dengan deadline atas nama nyawaku ini..?

Surabaya, 7 Juni 2015
Di antara 'deadline time'

#KisahNyata untuk #NulisRandom2015 #Day7

Bersambung..